Teori Partisipasi Politik
Terkait dengan teori partai politik di atas, dalam membahas masalah kepartaian juga periu disertakan teori partisipasi politik. Teori ini merupakan satu bidang kajian penting dalam ilmu politik, terutama untuk digunakan oleh para ahli ilmu politik dalam mengkaji dinamika kehidupan kepartaian di negara-negara yang sedang berkembang.
Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktit dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi berbagai kebijakan atau keputusan yang akan dibuat oleh pemerintah (government policy).
Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktit dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi berbagai kebijakan atau keputusan yang akan dibuat oleh pemerintah (government policy).
Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadirj rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan [contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. Di bawah ini akan diuraikan berbagai pendapat para ahli ilmu politik tentang detinisi partisipasi politik. Menurut Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Sciences: “partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”.
Sedangkan makna partisipasi politik menurut Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Sciences adalah: “kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan tindakan-tindakan yang akan diambil oleh mereka.
Samuel P Huntington dan Joan M Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, menyatakan bahwa; "partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang ditujukan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersitat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektit atau tidak etektit”.
Di negara-negara demokratis, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan dan masa depan masyarakat itu serta untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk kepemimpinan. Dengan demikian, partisipasi politik merupakan pengejawantahan atau implementasi dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah yang dalam ide domokrasi terkenai dengan semboyan: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (by the people, for the people, and to the people).
Dalam kehidupan politik demokratis, lebih luas dan intensifnya partisipasi warga negara dalam kehidupan politik, dianggap makin tinggi kualitas demokrasi yang berlangsung di negara tersebut. Dalam perspektit pemikiran ini, tingginya tingkat partisipasi partisipasi politik warga negara menunjukkan bahwa mereka mengikuti dan memahami masalah politik dan terlibat aktif dalam kehidupan politik negara. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda kurang baik, karena dinilai sebagai bentuk pasifitas warga negara terhadap masalah-masalah politik serta indikasi rendahnya kualitas dan kinerja demokrasi.
Sementara itu secara teoritis diketahui bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik dapat diklasifikakan ke dalam dua kategori yang mencakup partisipasi politik konvensional dan partisipasi politik non-konvensional. Kegiatan partisipasi politik konvensional adalah bentuk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern, seperti:
(1) pemberian suara (voting),
(2) diskusi politik,
(3) kegiatan kampanye,
(4) membentuk/bergabung dalam kelompok kepentingan, dan
(5) komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratit.
Sementara kegiatan politik non-konvensional adalah tindakan politik yang legal maupun ilegal, penuh kekerasan dan revolusioner, seperti:
(1) pengajuan petisi (umumnya bersifat legal),
(2) berdemostrasi (legal atau ilegal),
(3) kontrontasi,
(4) mogok, dan
(5) perang gerilya atau revolusi.
Dalam pandangan ahli lainnya, partisipasi politik didefinisikan oleh Michael Rush dan Phillip Althotf sebagai bentuk keterlibatan individu pada berbagai macam-macam tingkatan aktivitas kehidupan politik secara terorganisir yang dilakukan warga negara untuk memilih pemimpin, mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan. Menurut kedua ahli tersebut, partisipasi dapat dibedakan atas dasar intensitas keterlibatan politik dari masing-masing anggota kelompok masyarakat.
Berdasarkan pemaparan teoritis di atas, maka dapat dikemukakan bahwa kiprah PDI Perjuangan dalam sistem politik nasional dapat dipahami dalam kerangka pelaksanaan fungsi partai politik dan patisipasi politik dalam kehidupan politik Indonesia. Maka kalau kemudian kita melihat sejak kemunculan reformasi 1998 lalu hingga saat ini begitu banyak partai politik yang lahir, begitu banyak politisi dan tokoh masyarakat bermunculan dengan berbagai citra diri (karakter), serta begitu banyak fenomena sosial-politik yang cenderung mengarah pada kompetisi Pemilu yang makin tak sehat, seperti tercermin dalam konflik antar pendukung partai politik serta konflik di antara para elite partai dalam Pemilu 2004 lalu, maka fenomena tersebut tentu tidak lepas dari proses pembelajaran politik (political learning) yang tengah berlangsung dalam transisi menuju demokrasi di Indonesia, termasuk aktivitas yang dilakukan oleh PDI Perjuangan.