LANDASAN TEORI
Teori Partai Politik
Dalam mendefinisikan partai politik, para pakar merumuskan dengan pandangan yang berbeda-beda. Menurut Sigmund Neumann partai politik sebagai orgdnisasi artikulatit yang terdiri atas pelaku-pelaku politik yang aktit dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintah dan bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.
Dengan begitu mengembangkan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintah yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.
Dengan begitu mengembangkan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintah yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.
Ditinjau dari sudut pertumbuhan dan perkembangannya, keberadaan partai poltiik sebagai institusi politik modem sebenarnya masih relatif baru. Menurut Robert Michel, kehadiran partai politik yang terorganisir secara modern baru muncul pada sekitar akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 di negara-negara Eropa Barat. Setelah kemunculannya pada awal abad ke-19, perkembangan partai politik selanjutnya berjalan cukup pesat. Pada saat ini partai politik dapat dijumpai di hampir setiap negara di dunia, apapun sistem politik dan ideologi yang dianut oleh negara tersebut. Saat ini dapat dikatakan tidak ada satu pun negara di dunia yang tidak memiliki partai politik, baik dalam rangka menjalankan kehidupan politik negara maupun kehidupan politik masyarakatnya.
Di Indonesia, partai politik dalam arti modern lahir bersamaan dengan fenomena penindasan yang makin dalam dari sistem politik kolonial Belanda saat itu. HOS Tjokroaminoto pada tanggal 10 September 1912 adalah pemimpin pertama partai politik di Indonesia dalam arti modem itu, ketika ia bersama dengan teman-teman seperjuangannya mendirikan Sarekat (Dagang) Islam sebagai partai politik yang langsung berhadapan dengan sistem kolonial Belanda saat itu. Tiga bulan kemudian lahir lagi sebuah partai politik bari, yakni National Indische Partij yang didirikan oleh oleh Dr. Setiabudi, Dr. Cipto Mangunkusomo dan Suwardi Suryaningrat pada tanggal 25 Desember 1912 yang secara nyata membawakan aspirasi nasionalisme Hinda Belanda, dan menuntut kebebasan Hindia Belanda pada pemerintah kolonial Belanda.
Dua partai ini di samping partai-partai politik lain yang lahir kemudian bisa dikatakan sebagai cikal-bakal dari partai politik dalam arti sesungguhnya yang kelak mendasari perkembangan partai politik di Indonesia. Namun komunitas yang paling sadar untuk untuk menciptakan partai politik sebagai satu organ perjuangan modern adalah Mohammad Hatta dengan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI baru) sebagai kelanjutan dari perjuangan Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda dan Partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah kepemimpinan Ir. Soekarno.
Dua partai ini di samping partai-partai politik lain yang lahir kemudian bisa dikatakan sebagai cikal-bakal dari partai politik dalam arti sesungguhnya yang kelak mendasari perkembangan partai politik di Indonesia. Namun komunitas yang paling sadar untuk untuk menciptakan partai politik sebagai satu organ perjuangan modern adalah Mohammad Hatta dengan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI baru) sebagai kelanjutan dari perjuangan Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda dan Partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah kepemimpinan Ir. Soekarno.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membicarakan masalah kepartaian sebagai suatu pola interaksi yang kompetitif. Pertama, kita harus mengedepankan konsep-konsep deskriptif untuk menyifatkan arti, fungsi dan klasifikasi sistem kepartaian. Tanpa upaya ini, kita akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan sosok partai dalam artinya yang interaktif dan kompetitif tersebut. Kedua, adalah masalah untuk mencari faktor-faktor yang menentukan dari berbagai bentuk sistem kepartaian yang ada. Ketiga, masalah implikasi fungsional dari berbagai sistem kepartaian terhadap sistem sosial dan politik di mana partai-partai itu hidup dan berkembang. Berdasarkan ketiga hal tersebut di atas kita akan dapat memberikan gambaran yang cukup komprehensif tentang partai politik dan sistem kepartaian itu sendiri.
Usaha untuk mencari pengertian partai politik, bisa menggunakan berbagai cara pendekatan. Misalnya dengan melihat kaitannya dengan tujuan pembentukan partai politik, karakteristik keanggotaannya, struktur organisasinya, atau bahkan segi fungsi yang dikembangkan oleh partai politik bersangkutan. Misalnya, bila kita mendengar nama Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) atau Partai Komunis Indonesia (PKI), maka kita setidaknya bisa mengira-ngira apa basis ideologinya, sifat perjuangannya, metode dan taktik politiknya atau karakterisitik pendukungnya.
Salah satu pengertian partai politik yang paling umum dan mungkin yang paling cocok untuk negara-negara demokrasi Barat telah didefinisikan oleh Leon D. Epstein. Menurut Epstein, identitas, nama atau pun label partai politik paling tidak bisa menunjukkan karakteristik partai politik itu sendiri, baik yang menyangkut besarnya, tingkat kapasitas dan integritasnya, atau pun jumlah pendukungnya. Semetara Maurice Duverger mengemukakan partai politik berdasarkan atas perbedaan karekteristik dari masing-masing partai guna menangkap struktur dan anotominya. Dalam mencari karakteristik partai politik tersebut, menurut Duverger kita bisa melakukan peninjauan ideologi atau asas perjuangan politiknya, segi organisasi dan basis keanggotaannya, atau pola rekrutmen yang diterapkan, termasuk bentuk hirarki dan praktek kepemimpinannya.
Sehubungan dengan karakteristik keanggotaan sebagai salah satu variabel penting partai politik, Duverger membedakan antara “partai kader” dengan “partai massa”. Dalam kelompok partai kader, proses seleksi terhadap anggota-anggota partai dilakukan secara ketat dengan memperhatikan berbagai aspek, seperti keterampilan, prestise, pengalaman politik, serta pengaruh para pemimpin atau elite partai bersangkutan yang diharapkan bisa menarik pendukung sebanyak-banyaknya dalam pemilihan umum. Sedangkan kelompok kedua atau partai massa cenderung mendapatkan jumlah anggota yang sebanyak-banyaknya dengan elite kepemimpinan yang diseleksi secara ketat. Pada bagian lain, Duverger mengetengahkan kepemimpinan partai menjadi pemimpin yang bersifat tituler (muncul berdasarkan prosedur formal) yang dibedakan dengan pemimpin sejati (ideolog atau pejuang sejati yang dilahirkan dalam suasana krisis). Dalam konteks kepemimpinan ini, Duverger menganggap kepemimpinan sebagai suatu bentuk oligarki yang menggambarkan kelas elite yang memerintah atau kelas penguasa (the rulling class).
Berbeda dengan Epstein maupun Duverger, Samuel J. Elderveld melihat eksistensi partai politik dari sudut pandang tingkah-laku suatu kelompok sosial dan menghubungkannya dengan aktivitas terpola menurut bentuk matriks sosial. Jika diinterpretasikan sebagai suatu organisme sosial, maka partai politik bisa memainkan peranan sebagai individu-individu di dalam suatu unit sosial yang bisa ditetapkan untuk kemudian bisa menerima dan mencoba menyelesaikan tujuan-tujuan tertentu yang bisa bersifat lebih khusus. Di samping itu, partai politik juga bisa dipandang sebagai polity atau sistem politik mini dalam suatu struktur kekuasaan, pola-pola distribusi kekuasaan, proses perwakilan, dan sistem pemilihan umum maupun dalam aktivitas pengambilan keputusan.
Dalam konteks detinisi secara lebih konseputal, telah cukup banyak para ahli ilmu politik memberikan pengertian terhadap partai politik. R.H. Soltau, misalnya mendetinisikan partai politik sebagai: “sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan memantatkan kekuasaannya untuk dapat memilih yang mempunyai tujuan ingin menguasai pemenntahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka.” Sementara Carl J. Friederich merumuskan partai politik sebagai: “suatu kelompok manusia yang diorganisasikan secara stabil dengan tujuan mengamankan atau memelihara penguasaan para pemimpin atas suatu pemerintahan, dengan demikian dapat memberikan kepada para anggota-anggotanya keuntungan-keuntungan serta kelebihan-kelebihan secara ideal dan material”.
Miriam Budiardjo mengemukakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Lebih lanjut dikemukakan oleh Budiardjo bahwa tujuan-tujuan kelompok tersebut adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam rangka melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. Untuk mencapai tujuan itu, menurut Miriam, partai-partai politik yang hidup dalam sistem politik demokratis biasanya menggunakan cara-cara yang konstitusional, misalnya ikut serta dalam proses Pemilu.
Sementara Sigmund Neumann mendetinisikan partai politik sebagai: “organisasi para aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan golongan lainnya yang mempunyai pandangan yang berbeda”. Dari konsep seperti dikemukakan Neumann tersebut, paling tidak ada empat hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan usaha memperjelas pengertian mengenai istilah partai politik.
Keempat hal tersebut yang dimaksudkan adalah: perfama, partai politik merupakan suatu organisasi yang melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam suatu masyarakat; kedua, partai politik mencurahkan perhatian untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya; ketiga, partai politik berusaha mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok dan golongan dalam masyarakat yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda; keempat, partai politik merupakan lembaga perantara yang menghubungkan antara kekuatan-kekuatan sosial dan ideologi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan pejabat-pejabat pemerintah maupun dengan lembaga-lembaga kenegaraan.
Keempat hal tersebut yang dimaksudkan adalah: perfama, partai politik merupakan suatu organisasi yang melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam suatu masyarakat; kedua, partai politik mencurahkan perhatian untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya; ketiga, partai politik berusaha mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok dan golongan dalam masyarakat yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda; keempat, partai politik merupakan lembaga perantara yang menghubungkan antara kekuatan-kekuatan sosial dan ideologi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan pejabat-pejabat pemerintah maupun dengan lembaga-lembaga kenegaraan.
Selanjutnya Myron weiner dan Joseph La Palombara mengungkapkan pendapatnya tentang partai politik sebagai: "lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi untuk mengemukakan kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomi, dan sebagai mekanisme-mekanisme untuk menyatakan serta mengatur perselisihan. Kedua pakar politik itu juga mendetiniskan partai politik sebagai sekelompok manusia yang terorganisir, yang anggota-anggotanya memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, yakni untuk memperoleh kekuasaan politik serta mempertahankannya guna melaksanakan program yang telah ditetapkan.
Dari berbagai pengertian, definisi atau rumusan partai politik sebagaimana telah dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa partai politik pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terdiri dari berbagai individu yang mengorganisir dirinya, memiliki cita-cita (ideologi), bekerja secara sistematis dan simultan serta yang ditujukan untuk menguasai pemerintahan agar bisa memperoleh berbagai keuntungan (benefid) dari segala bentuk pengawasan yang akan dilakukannya.