Kondisi politik PDI di bawah kekuasaan Orde Baru tetap di warnai konflik, meskipun PDI telah berada di bawah kepemimpinan Soerjadi - orang muda yang dianggap bebas konflik seperti diharapkan oleh penguasa Orde Baru ketika itu. Ketika Soerjadi tampil sebagai Ketua Umum, ia berusaha melakukan proses pemberdayaan partai pada saat kekuatan negara masih dominan, kendatipun telah mulai kelihatan tanda-tanda bermunculannya tantangan dari dalam masyarakat.
Kiprah Soerjadi kemudian diganjal oleh rekayasa elite penguasa pada Kongres Medan pada Juli 1993 yang sedianya akan mengukuhkan kepemimpinan untuk yang kedua kali. Kendati demikian, benih-benih pemberdayaan harus diakui telah mulai bersemi dan semakin marak manakala PDI memperoleh kepemimpinan baru di bawah “komando” Megawati Sukarnoputri.
Munculnya putri sulung mendiang Presiden Rl pertama dalam kepemimpinan partai ini adalah suatu gejala politik baru yang cukup mengejutkan. Sosok Megawati Sukarnoputri yang mula-mula tidak dikenal dikalangan politisi nasional dengan cepat menarik perhatian ketika ia mendapat dukungan dari “arus bawah” untuk tampil memegang tampuk pimpinan PDI yang selalu “diintervensi” oleh penguasa Orde Baru. Kongres Luar Biasa (KLB) Surabaya pada Desember 1993, yang merupakan arena untuk memecahkan kebuntuan politik pasca kegagalan Kongres Medan. PDI ingin meretas jalan baru dengan memilih Mega sebagai Ketua Umum yang dikukuhkan oleh Munas di Jakarta pada akhir tahun 1993.
Tak dapat dielakkan lagi, penguasa Orde Baru tak akan tinggal diam melihat kiprah Megawati dan PDI di bawah kepemimpinannya. Dengan didukung oleh kelompok “anti Mega” di dalam partai itu, penguasa terus berupaya agar pelaksanaan pemberdayaan internal PDI mengalami jalan buntu, sehingga PDI akan terus tergantung pada penguasa sebagaimana praktik sebelumnya. Maka gangguan demi gangguan pun harus dihadapi oleh PDI di bawah Megawati. Semenjak ia memegang kendali partai penguasa, dibantu fraksi-traksi saling berlawanan di dalam partai, tak henti-hentinya melakukan “tekanan” terhadap Megawati dengan menggunakan berbagai cara. Mulai dari mempersoalkan legalitas Munas, tuduhan mempertahankan ideologi Soekarnoisme/Marhaenisme, mempertanyakan kepasitas politik Mega, sampai dengan intimidasi fisik beberapa tokoh PDI baik, di tingkat pusat maupun daerah.
Dengan cara-cara demikian, diupayakan agar ruang gerak Megawati menjadi kian sempit dan keinginan PDI untuk terus melaksanakan pemberdayaan internal mengalami kegagalan, dan PDI terus menjadi partai yang bergantung pada pemerintah. Puncak dari upaya konspiratif ini, adalah penyelenggardan Kongres Medan yang di sponsori oleh pemerintah dan dilaksanakan oleh Soerjadi dkk. Soerjadi, yang pada akhir tahun 1990-an sempat menjadi tokoh yang dihormati oleh PDI, tampaknya tergiur oleh godaan kekuasaan yang ditawarkan oleh Soeharto: memegang kembali jabatan “Ketua Umum PDI”. Disini Soerjadi melakukan kesalahan paling tatal dalam seluruh karir politiknya, yaitu mengabaikan dukungan warga terhadap Mega yang sangat besar serta buta terhadap dinamika politik yang semakin tidak menguntungkan kekuasaan Orde Baru.
Soerjadi dan kawan-kawan, menyangka bahwa dengan coup de etat’s politik melalui Kongres Medan akan berjalan mulus. Dukungan elite politik Orde Baru, khusunya dari Mendagri, Kasospol dan Pangab pada saat itu, diperkirakan akan menghancurkan legitimasi politik Megawati dkk. Kelompok Soerjadi jelas menggunakan pola politik Orde Baru, bahwa legalitas pemerintah adalah senjata pamungkas bagi setiap upaya perebutan kekuasaan dalam organisasi politik. Sayang sekali perhitungan itu meleset karena dinamika politik Indonesia tahun 1990-an ternyata semakin memberi peluang bagi rakyat untuk menolak cara-cara yang beriawanan dengan etika politik seperti itu. Soerjadi dkk, bukannya sadar atas realitas politik obyektit yang ada, akan tetapi malah larut menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan pemerintah - seperti terlihat pada “peristiwa 27 Juli 1996”.
Dua hari setelah Presiden Soeharto menerima DPP PDI hasil Kongres Medan, terjadi penyerbuan Kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro, yang selama ini diduduki oleh massa PDI pro-Megawati pada tanggal 27 Juli 1996. Sebelum peristiwa itu, telah terjadi bentrok fisik antara pendukung Megawati dan aparat di sekitar Gambir, Jakarta-Pusat. Peristiwa itu terjadi ketika iring-iringan massa PDI pro-Megawati yang menolak hasil Kongres Medan bergerak dari Jl. Diponegoro menuju Monas, diblokade aparat keamanan yang barakhir pada insiden dan jatuhnya korban.
Selepas peristiwa Gambir, dukungan warga PDI dan simpatisannya terhadap Mega kian hari kian mengalir deras. Keunggulan PDI di bawah Mega dan keterpurukan Soerjadi semakin menjadi kenyataan manakala Pemilu 1997 digelar. Sementara itu, harapan penguasa Orde Baru dengan rekayasa Kongres PDI Medan dan menampilkan Soerjadi sebagai Ketua Umum agar terjadi keseimbangan baru dalam konstelasi politik nasional temyata tidak terwujud. Bahkan sebaliknya, dalam kaitannya dengan konflik internal PDI semakin hari semakin menunjukkan sikap ragu dan defensif. Pemerintah ragu karena jika melakukan represi terhadap Megawati, ia harus berhadapan dengan kekuatan massa PDI yang didukung oleh kalangan pro-reformasi serta opini publik internasional. Pemerintah defensif, karena jika ia melepas dukungan terhadap Soerjadi, maka berarti membuka peluang bagi munculnya tuntutan politik yang sama bagi kalangan organisasi partai atau organisasi sosial lainnya.
Dari sekian banyak partai yang lahir dari rahim reformasi PDI P di bawah kepemimpinan Megawati Sukarnoputri memiliki keunikan dalam dinamika politik Indonesia aktual. Keberadaan Mega dan loyalitas yang terbentuk dikalangan pengikutnya sebenamya merupakan hasil perlawanan politik cukup panjang dari sebuah model “pembinaan politik” warisan kolonial versi Orde Baru, yang selalu dipraktekkan terhadap partai politik yang dianggap potensial menyaingi “kebesaran Golkar” sebagai partai pemerintah. Sebagai komunitas politik yang hidup di bawah penindasan politik razim Orde Baru yang cukup lama, eksistensi PDI Perjuangan di bawah Megawati sebagai simbol perlawanan, berpotensi besar sebagai peiopor perubahan tatanan politik nasional yang represif dan otoriter. Daya tahan terhadap tekanan politik, basis massa yang luas, serta figur sang Ketua Umum sebagai putri Proklamator Kemerdekaan Rl, merupakan nilai plus yang cukup prospektif dan kondusif bagi partai ini.
PDI Perjuangan di bawah kepemimpinan Megawati Sukarnoputri mampu mewujudkan fungsi PDI Perjuangan sebagai partai yang mandiri. Dengan tekadnya untuk tidak terkooptasi dalam sistem politik Orde Baru, PDI Perjuangan sebenarnya sudah mensosialisasikan nilai-nilai perjuangan demokrasi dan memberikan pendidikan politik pada masyarakat, bahwa sudah pada tempatnya jika sebuah partai politik memiliki akar dan basis dikalangan akar rumput serta memperoleh legitiminasi dari rakyat, bukan dari pemerintah seperti yang selama ini selalu dipraktekkan oleh penguasa Orde Baru. Upaya PDI Perjuangan sedikit banyak mulai membuahkan hasil karena kenyataan yang bisa di lihat saat ini, bahwa masyarakat umum menerima secara de facto kehadiran PDI Perjuangan dalam kancah politik Indonesia.
Bukti penerimaan ini terlihat pada dukungan politik massa yang terjadi pada partai ini yang semakin hari semakin membesar. Sumbangan PDI Perjuangan untuk membangun sistem demokrasi terletak pada daya resistensi partai ini terhadap tekanan politik maupun iming-iming jabatan politik. Kemandirian politik dari kader-kader PDI Perjuangan secara tidak langsung memberikan pendidikan politik kepada masyarakat untuk juga berpikir dan bertindak independen secara politis. Selain itu, PDI Perjuangan juga berani menunjukkan diri sebagai partai politik modern yang menjalankan prinsip keterbukaan dalam rekrutmen anggota. PDI Perjuangan di bawah kepemimpinan Megawati Sukarnoputri merupakan partai yang mengusung semboyan partainya “wong cilik”, partainya “rakyat jelata”, partai tempat berhimpunnya orang miskin dan tertindas. Menurut salah satu kader PDI Perjuangan, memperjuangkan kepentingan rakyat yang selama ini menjadi “penopang hidup” partai sangat penting, yang didukung oleh karakter kepemimpinan partai yang kuat dan solid.
Perjalanan pasang-surut PDI Perjuangan di bawah kepemimpinan Megawati Sukarnoputri menarik untuk dicermati. Kegigihan partai ini untuk terus bertahan menghadapi tekanan kekuasaan di masa Soeharto telah melahirkan sejumlah spekulasi akademis. Bertahannya Megawati sebagai pemimpin partai, misalnya, seringkali dijadikan bukti bangkitnya kekuatan “arus bawah” yang selama ini tak pernah mendapat tempat dalam konstelasi politik Orde Baru. Bertahannya Megawati juga dianggap sebagai kebangkitan kepemimpinan politik perempuan di Indonesia. Dibandingkan dengan partai-partai lain, PDI Perjuangan di bawah Megawati merupakan satu-satunya partai politik yang secara langsung dan terbuka menghadapi “pertarungan” dengan kekuasaan otoriter Orde Baru. Penderitaan yang dialami oleh PDI Perjuangan pimpinan Megawati semasa kekuasaan Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto, telah menaikkan popularitas dan citra partai ini di era retormasi.
Atas dasar keputusan Kongres V PDI yang dideklarasikan di Denpasar, Bali, tanggal 10 Oktober 1998, mengesahkan kepengurusan DPP PDI Perjuangan masa bakti 1998-2003 sebagai berikut:
Ketua Umum : Megawati Sukarnoputri
Ketua :
- Soetarjo Soerjogoeritno, BA.
- Drs. Kwik Kian Gie
- I Gusti Ngurah Sara
- Mayjen TNI (Purn) Theo Syafei
- KH. Hasyim Wahid
- Suparlan, SH.
- Prof. Dr. Dimayati Hartono, SH.
- Prof. Dr. Mochtar Buchori
- V.B. Da Costa, SH.
Sekretaris Jenderal : Drs. Alexander Litaay
Wakil Sekjen :
- Mangara Siahaan
- H. Haryanto Taslam
- Ir. Tarto Sudiro
Bendahara : Ir. Laksamana Sukardi
- Ir. Meilono Soewondo, MBA.
- Dra. Noviantika Nasution
Dewan Pertimbangan Partai :
- Dr. H. Roeslan Abdulgani
- M.H. Isnaeni
- Abdul Majid
- Sabam Sirait
- Drs. Ben Mang Reng Say
- Drs. Frans Seda
- Drs. Imam Kadri Suprapto