Konsumsi Nasional, Menuju Proses Penggelembungan (Bubble) yang Mengkhawatirkan)
PENDAHULUAN
Dalam kondisi riil perekonomian Indonesia, terdapat suatu fenomena yang terus berkembang dan menimbulkan kekhawatiran, seperti yang diungkapkan oleh Yati Kurniati, dkk (2008) dalam penelitiannya, yaitu : “Kondisi perekonomian Indonesia yang mulai membaik telah menimbulkan harapan baru. Namun pertumbuhan ekonomi tersebut lebih banyak ditopang oleh tingginya konsumsi.Kontribusi konsumsi terhadap GDP cukup besar dalam kurun waktu lima tahun terakhir yaitu sekitar 67 %. Sebaliknya, peran investasi dalam pembentukan GDP sangat kecil yaitu rata-rata 22% pada tahun 2003-2007”. Hal tersebut cukup memprihatinkan, mengingat investasi seharusnya menjadi faktor pendorong perekonomian. Investasi; baik berupa investasi domestik maupun luar negeri (FDI) dapat berdampak pada peningkatan kinerja sektor riil.
Sementara itu Basri (2009 ; 14) dalam M.Sukarni, dkk (2010 ; 1) ; investasi dikatakan sebagai “makanan paling bergizi” maka tentunya sumber-sumber pertumbuhan lain tidaklah sebaik investasi. Selama ini konsumsi meningkat dan kian kuat pengaruhnya dalam menopang pertumbuhan ekonomi, demikian pula dengan belanja pemerintah. Tetapi, karena konsumsi dan belanja pemerintah (di luar belanja investasi) tidak berhubungan langsung dengan output atau produk, maka pertumbuhan ekonomi yang dibuahkannya juga tidak mencerminkan kenaikan kapasitas dan atau produksi riil dari ekonomi yang bersangkutan.
Secara umum, kontribusi investasi hanya sekitar 20% terhadap out put domestik Indonesia. Selama masa krisis perekonomian lebih banyak didorong oleh pengeluaran konsumen. Namun demikian pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh pengeluaran konsumen mungkin tidak berkelanjutan.
Lebih jauh, menurut Marzuki (2010, p.130), adanya perilaku perbankan yang jor-joran dalam menyalurkan kredit ke sektor non produktif, yakni ke sektor konsumsi dan semakin menjadi masalah karena kredit tersebut digunakan lebih banyak ke produk-produk konsumsi impor, yang jelas-jelas tidak mempunyai kaitan dengan sektor produktif riil domestik.
METODE DAN BAHAN
Teori-teori yang menjelaskan bagaimana pengaruh adanya inflasi dengan pengeluaran konsumsi, masih berbeda pandang satu sama lain. Misalnya teori Efek Subtitusi menyatakan ; terjadinya kenaikan tingkat harga umum dan adanya kenaikan tingkat harga suatu barang akan menyebabkan efek subtitusi, dimana konsumen akan mengurangi pembelian barang yang harganya menjadi relatif lebih mahal dan menambah pembelian barang yang harganya relatif lebih murah. Akan tetapi karena inflasi ditandai oleh kenaikan harga barang pada umumnya, maka lebih mengakibatkan terjadinya efek subtitusi antara pengeluaran konsumsi dan tabungan.
Demikian juga, teori Keynes menunjukkan bahwa hubungan antara pengeluaran konsumsi lebih ditentukan oleh tingkatan pendapatan secara riil, dibandingkan dengan adanya pengaruh inflasi. Sementara itu teori ekpektasi inflasi menyatakan bahwa naiknya inflasi justru dapat mendorong naiknya permintaan barang dan jasa untuk tujuan berjaga-jaga /menumpuk stok (disarikan dari teori Kuantitas Irving Fisher, Teori Keynes dan teori Strukturalis.)
Fakta dan Realita Indonesia
Memperhatikan data perkembangan PDB Indonesia yang dihitung atas dasar pendekatan pengeluaran ; Y = C + I + G + (X-M), dimana Y adalah pendapatan nasional, C adalah konsumsi nasional, I adalah Investasi Nasional dan (X-M) adalah ekspor netto, maka data-data menunjukkan bahwa kontribusi konsumsi ternyata paling tinggi dan cenderung meningkat selama tiga daswarsa terakhir, dimana pada dasawarsa I (1981 – 1990) sebesar 50.94%, pada dasawarsa II (1991 – 2000) sebesar 54,19 dan dasawarsa III (2001 – 2010) sebesar 59,17%
Demikian juga data-data perkembangan realisasi kredit konsumsi sejak tahun 1997 s.d. 2010, menunjukkan kontribusi kredit konsumsi semakin meningkat dari 11.78% pada tahun 1997 menjadi 28.78 % pada tahun 2010 dengan rata-rata 24.30%, terhadap total kredit perbankan dibandingkan dengan kredit investasi yang hanya rata-rata 20.5%.HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai t statistik untuk variable inflasi terhadap konsumsi sebesar 2,.22 menunjukkan pengaruh tersebut adalah signifikan, demikian juga nilai t statistic inflasi terhadap impor sebesar 1,70 menunjukan bahwa inflasi signifikan mempengaruhi impor. Sementara itu inflasi tidak signifikan mempengaruhi investasi dan ekspor, karena nilai t statistic masing-masing sebesar -0.78 dan -0.15.
Dari hasil penelitian disertasi tersebut, dapat ditarik kesimpulan, ternyata konsumsi dan impor nasional dipengaruhi secara signifikan, terutama oleh faktor inflasi, namun inflasi tidak signifikan mempengaruhi investasi dan ekspor nasional..
Selanjutnya, perdebatan antara kepentingan makro ekonomi dengan mikro ekonomi tercermin dari pernyataan bahwa ; apa yang baik untuk seorang individu (mikro) belum tentu baik untuk perekonomian (makro), serta dapat dijelaskan melalui fenomena konsumsi berikut :
Dari sisi individu, menabung dan berhemat adalah kegiatan sehat. Seorang individu memang sebaiknya membeli barang hanya bila punya uang, bukan berutang. Seorang individu sebaiknya juga tidak melakukan kegiatan spekulasi. Sebab, jika salah berhitung, kondisi keuangannya dapat menjadi berantakan. Namun, dalam teori ekonomi makro disebutkan bahwa masyarakat yang hidup hemat, tidak suka berutang dan tidak mau berspekulasi justru merugikan perekonomian. Semakin besar keinginan untuk mengkonsumsi (konsep marginal propensity to Consume = MPC), semakin meningkatkan perekonomian (ΔY = ΔI x 1/(1-MPC) dimana 1/(1-MPC) adalah efek pelipat (multiplier effect). Jika masyarakat suka berhemat, bisnis akan lesu, sebab, tidak banyak pembeli. Jika bisnis lesu, ekonomi tidak akan tumbuh.
Harga yang terus naik (inflasi) juga baik untuk bisnis. Harga yang turun (deflasi) pertanda bisnis suram. Pertumbuhan ekonomi pun akan melambat, bahkan dapat negatif. Jadi, dari apa yang dibahas dalam teori ekonomi makro, konsumen memang tidak boleh berharap menikmati harga yang menurun. Sebab, harga yang lebih murah berarti bisnis yang lesu dan pertumbuhan ekonomi yang menurun. Untuk individu, harga yang naik dengan makin cepat (inflasi yang meningkat) menyebabkan individu malas menabung. Uang yang ditabung akan berkurang nilainya. Kalau pun mendapat bunga, suku bunga sangat kecil, lebih rendah dari inflasi.
Akibatnya, secara netto nilai tabungan justru menurun dan semakin kecil jika terkena biaya administrasi dan pajak. Akibatnya, dengan inflasi yang makin tinggi, orang makin malas menabung. Kalau orang menduga harga barang akan terus menaik, mereka akan terdorong untuk meningkatkan konsumsi. Sebab, menunda konsumsi berarti mereka akan harus membayar konsumsi dengan harga yang lebih mahal. Saat inflasi meningkat, berutang menjadi pilihan yang makin menarik, walau pengutang harus membayar bunga. Karena itu, orang terpicu untuk berutang, ketika harga belum naik lebih lanjut.
Utang biasanya diberikan lembaga keuangan, baik bank maupun bukan bank. Namun, akhir-akhir ini bermunculan lembaga perdagangan eceran yang menjual barang secara kredit, bahkan tidak melayani penjualan tunai. Lembaga eceran ini sesungguhnya telah mendorong orang untuk berutang. Mereka juga telah berfungsi sebagai lembaga keuangan dan bukan lembaga perdagangan.
Fenomena makro ekonomi juga menunjukkan bahwa ; kegiatan spekulasi juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Kalau orang berani berspekulasi, masyarakat tidak perlu meningkatkan produksi. Barang yang sama dapat diperjualbelikan dengan harga yang makin tinggi. Masyarakat secara umum memang tidak memperoleh keuntungan dari spekulasi ini karena barang yang diproduksi tidak bertambah. Namun, secara individu para pelaku spekulasi mendapatkan keuntungan banyak sekali. Keuntungan para spekulan ini dihitung dalam pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, kegiatan spekulasi (yang sesungguhnya tidak ada gunanya untuk masyarakat) dapat tercatat sebagai penyumbang penting dalam pertumbuhan ekonomi. Artinya, masyarakat memang terdorong hidup dengan melakukan tindakan spekulasi.
Ketika masyarakat terpacu untuk berspekulasi, mereka membeli barang dengan harapan harga barang akan meningkat, mereka kemudian akan mendapatkan keuntungan dari peningkatan harga itu. Dalam keadaan demikian, harga yang makin mahal bukan menurunkan permintaan, melainkan justru meningkatkan permintaan. Harga yang naik memberi tanda bahwa harga akan terus naik. Dengan demikian, orang akan berlomba membeli sebelum harga naik lebih lanjut. lalu ini kemudian benar-benar memacu harga untuk naik lagi. Kenaikan harga ini kembali memicu orang untuk membeli lebih banyak lagi. Harga makin naik. Para spekulator makin diuntungkan, sedangkan masyarakat secara makro tidak mendapatkan keuntungan apa-apa. Tingkah laku spekulasi ini dapat dilakukan untuk barang yang “nyata” seperti tanah dan rumah. Namun, ini juga dapat terhadap barang yang “tidak nyata” seperti surat utang, saham, dan berbagai turunan (derivatif) dalam pasar keuangan. Selanjutnya, kegiatan bisnis terus menerus mendorong orang untuk meningkatkan konsumsi.
Bersamaan dengan itu, lembaga keuangan terus mendorong orang untuk melakukan pinjaman. Para investor mencontohkan kepada masyarakat bagaimana melakukan tindakan spekulasi, misalnya, dengan membeli rumah karena harga rumah diharapkan akan meningkat dengan pesat.
Semua kegiatan yang mendorong masyarakat untuk makin boros, berani berutang, dan bertingkah laku spekulatif ini cenderung semakin meningkat, yang semuanya diharapkan dapat memicu pertumbuhan ekonomi, tetapi sampai kapan?
SIMPULAN DAN SARAN
Signifikannya pengaruh inflasi terhadap konsumsi, dan impor, maka diperlukan kebijakan pengendalian inflasi pada tingkat tertentu dimana pada tingkat tersebut diharapkan bisa menahan laju naiknya konsumsi, dan impor yang tidak berorientasi pada produksi domestik dan penciptaan lapangan pekerjaan.
Disisi lain tingkat inflasi tersebut masih mampu mendorong pertumbuhan investasi dan ekspor, sehingga dapat memberikan efek multiplier yang lebih siginifikan terhadap upaya menurunkan tingkat pengangguran.
DAFTAR PUSTAKA
Amri Amir, 2004, Pengaruh Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pengangguran di Indonesia, Universitas Jambi.
Badan Pusat Statistik, 2005, Laporan Tahunan Indikator Makro Ekonomi Indonesia, BPS Jakarta.,
Basri, Faisal, 2002, Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Indonesia, Penerbit Erlangga.
Indikator Perekonomian, 2009, Badan Pusat Statistik, Edisi 44 Juli 2009.
Marsuki, 2010, Analisis Perekonomian Nasional & Internasional, Mitra Wacana Media, Jakarta.
Muslimin Anwar dan Tevy Chawwa, 2008, Analisis Ekspektasi Inflasi Paska ITF, Working Paper No.09 Jurnal bank Indonesia, Juni 2008
Meirinaldi, 2012, Peran Financial Led Growth Sektor Keuangan terhadap Konsumsi, Investasi, Ekspor dan Impor serta implikasinya terhadap tingkat Pengangguran, Disertasi Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Borobudur
Prasetyantoko, A. 2008,Bencana Financial, Stabilitas Sebagai Barang Publik, PT. Kompas Gramedia, Jakarta.
Prasetyantoko, A. 2010, Ponzi Ekonomi, prospek Indonesia di tengah Instabilitas Global, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Yati Kurniati, Donni Fajar Anugrah, Tevy Chawwa, 2008, Peran Investasi dalam Mendorong pertumbuhan Ekonomi, Bank Indonesia Working Paper Nomor 06 Juni tahun 2008