PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kepemimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan peran, tempatnya pada suatu posisi administratif, serta persepsi oleh orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh.
Sehingga dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa seorang pemimpin harus memiliki pengaruh dan dapat mempersuasi orang lain yang dilihat dari sikap dan perilaku pemimpin tersebut.
Sehingga dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa seorang pemimpin harus memiliki pengaruh dan dapat mempersuasi orang lain yang dilihat dari sikap dan perilaku pemimpin tersebut.
Ada berbagai isu yang terkait dalam pembahasan mengenai kepemimpinan perempuan, antara lain mengenai kesetaraan gender dan jenis kelamin. Di dalam isu-isu tersebut muncullah permasalahan-permasalahan yang saat ini dihadapi oleh perempuan ketika bersinggungan dengan peran sebagai pemimpin yang selama ini diidentikkan dengan “dunia” laki-laki. Kurangnya jumlah perempuan dalam peran pemimpin telah menyebabkan banyak orang berasumsi bahwa ada perbedaan signifikan dalam kemampuan atau gaya memimpin antara laki-laki dan perempuan-perbedaan yang dapat menghambat perempuan untuk menjadi pemimpin.
Sementara Feldmen menyatakan bahwa kurangnya pemimpin perempuan disebabkan oleh adanya stereotip sosial yang menghambat perempuan untuk memimpin, padahal sebenarnya perbedaan kemampuan memimpin antara laki-laki dan perempuan itu tidaklah begitu besar. Misalnya perempuan kerap dianggap tidak dapat memimpin atau dalam kata lain tidak mempunyai potensi memimpin bila dibandingkan dengan laki-laki. Namun anggapan tersebut sebenarnya tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.
Hal ini dapat dilihat di dalam negeri dengan bangga sosok keibuan yang telah membuktikan dirinya sebagai Presiden perempuan pertama di Indonesia Megawati Soekarno Putri. Serta kebijakan yang memberi keistimewaan dalam konteks politik, misalnya Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani Indirawati wanita yang paling berpengaruh ke-2 di Indonesia versi majalah Globe Asia bulan Oktober 2007, Gubernur perempuan pertama yang menjabat di daerah Banten Ratu Atut Chosiyah, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Lasiyah Soetanto (1983-1987), Anindyati Sulasikin Murpratomo (1987-1993), Mien Sugandi (1993-1998), Tuty Alawiyah (1998-1999), Khofifah Indar Parawansa (1999-2001), Sri Redjeki Sumarjoto (2001-2004), Meutia Hatta (2004-2009), Linda Amalia Sari (2009-2014). Dalam konteks korporasi yaitu Ditta Amahorseya sebagai Direktur Cittibank Indonesia, Karen Agustiawan sebagai Dirut Pertamina, Dewi Motik sebagai ketua KOWANI, Etty Sunarti Nuay sebagai Presiden Direktur EASCO Petroleum. Sedangkan dalam konteks kepolisian ada Jeanne Mandagi sebagai Perwira tinggi polisi wanita Indonesia.
Adapun di dalam konteks bimbingan dan konseling di Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) di daerah Provinsi DKI Jakarta di pimpin oleh seorang perempuan yaitu Susi Fitri (2013-2017), Kemudian Dekan dan Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan di pimpin oleh seorang perempuan yaitu Sofia Hartati dan Gantina Komalasari. Mereka adalah pemimpin perempuan yang memiliki berbagai prestasi dan kemampuan untuk bersaing dengan laki-laki untuk mendapatkan peluang akses sebagai pemimpin.
Adapun di dalam konteks bimbingan dan konseling di Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) di daerah Provinsi DKI Jakarta di pimpin oleh seorang perempuan yaitu Susi Fitri (2013-2017), Kemudian Dekan dan Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan di pimpin oleh seorang perempuan yaitu Sofia Hartati dan Gantina Komalasari. Mereka adalah pemimpin perempuan yang memiliki berbagai prestasi dan kemampuan untuk bersaing dengan laki-laki untuk mendapatkan peluang akses sebagai pemimpin.
Adapun contoh didalam konteks dunia pendidikan, bahwa di provinsi DKI JAKARTA terdapat 116 SMA Negeri dari sekian sekolah terdapat 32 kepala sekolah perempuan dan 84 Kepala sekolah laki-laki. Sedangkan dari data survei di sekolah menengah atas yang peneliti lakukan terdapat 32 ketua OSIS perempuan dan 91 ketua OSIS laki-laki di SMA wilayah Jakarta Timur.
Ternyata data tersebut menggambarkan bahwa sebagian orang masih beranggapan bahwa laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin dalam setiap bidang kehidupan karena dalam masyarakat masih kental budaya patriarki. Hal yang menyebabkan pandangan tersebut bisa terjadi, yaitu : Pertama, menurut teori yang ada menyebutkan bahwa pemimpin tidak harus laki-laki dan adanya anggapan yang pantas menjadi pemimpin adalah laki-laki merupakan isu gender serta adanya budaya patriarki yang melekat di Indonesia menyebabkan perempuan sering dianggap sebagai orang yang lemah karena selalu dinomorduakan. Kedua, adanya anggapan dalam pandangan keagamaan yang cenderung merendahkan kaum wanita. Wanita dianggap sebagai manusia sekunder karena diciptakan dari tulang rusuk Adam yang merupakan manusia primer atau pertama. Pandangan ini menjadi dasar dari asumsi yang meremehkan kaum wanita berkembang disebabkan oleh satu kenyataan bahwa ajaran agama itu dirumuskan dan disebarluaskan dalam struktur masyarakat patriarki. Ketiga, kebanyakan perempuan tidak menginginkan kedudukan sebagai pemimpin, karena perempuan lebih menerima kodratnya sebagai ibu atau perempuan yang dipimpin dan dilindungi oleh laki-laki, sehingga ketika sebagian besar kedudukan sebagai pemimpin dipegang oleh kaum laki-laki.
Seperti yang dikemukakan oleh Eagly dan Johnson bahwa berdasarkan dari perbedaan sifat-sifat dasar gender, merumuskan gaya kepemimpinan otokratik dan demokratik adalah yang paling representatif didalam membedakan gaya kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan apabila di lihat dari sudut pandang stereotip tentang gender maskulin yang menggambarkan sosok individu yang kuat, tegas dan berani adalah gambaran dari gaya kepemimpinan otokratik sedangkan gender feminin yang menggambarkan sosok yang memperlihatkan sifat-sifat yang hangat dalam hubungan personal, lebih suka berafiliasi dengan orang lain dari pada mendominasi adalah gambaran dari gaya kepemimpinan demokratik, maka yang perlu dipahami adalah kembali pada sudut pandang stereotip tentang perbedaan gender yang mengganggap laki-laki adalah maskulin sedangkan perempuan adalah feminin. Perbedaan ditemukan dalam konteks atau situasi organisasional di mana pemimpin laki-laki umumnya lebih bersifat autokratis dan direktif sedangkan pemimpin perempuan lebih bersifat demokratis dan partisipatif. Eagly dan Johnson telah menemukan bahwa: “the strongest evidence for a gender difference in leadership style in the tendency for women to adopt a more participative style and for men to adopt a more directive style”.
Dalam pandangan tradisonal, perempuan diidentikkan dengan sosok yang lemah, halus dan emosional. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah, berani dan rasional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai makhluk yang seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada laki-laki. Akibatnya jarang sekali perempuan untuk bisa tampil menjadi pemimpin, karena mereka tersisihkan oleh dominasi laki-laki dengan male chauvinistic (superioritas laki-laki atau hak laki-laki berkuasa atas perempuan). Dengan demikian maka muncul beranggapan bahwa kaum laki-laki lebih pantas memimpin dari pada perempuan.
Maka Eagly dan Johnson berasumsi bahwa gaya kepemimpinan laki-laki cenderung otokratik dan perempuan cenderung demokratik, telah melakukan penelitian lebih dari 150 studi mengenai kepemimpinan dan menemukan bahwa sebenarnya pemimpin, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kepedulian yang sama besar pada penyelesaian tugas dan hubungan interpersonal. Menurut Feldmen sebuah penjelasan yang mungkin dan masih bersifat spekulatif adalah perempuan lebih cenderung memperlihatkan keterampilan interpersonal yang lebih tinggi daripada laki-laki sehingga lebih mudah bekerja dalam kerangka kerja yang demokratis.
Hughes, Richard menyimpulkan bahwa perempuan dan laki-laki memang mempunyai perbedaan dalam gaya, status dan cara-cara memimpin. Sebenarnya baik pemimpin laki-laki dan perempuan secara umum sama efektifnya, namun tidak sama efektif dalam setiap situasi. Pemimpin laki-laki lebih efektif dalam peran yang maskulin atau autokratis dan berorientasi pada tugas. Sedangkan pemimpin perempuan lebih efektif dalam peran feminin atau peran yang lebih demoktaris dan berorientasi pada manusia. Perbedaan dalam gaya kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki karena peran atau sifatnya, tetapi untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif sehubungan dengan tujuan organisasi yang harus dicapainya, tidaklah cukup hanya karena peran atau sifat yang melekat pada dirinya, melainkan banyak faktor lainnya yang ikut mempengaruhinya.
Dari ulasan di atas perempuan tidak dapat memimpin karena perempuan dinomorduakan oleh laki-laki, tetapi zaman sekarang bahwa perempuan lebih berprestasi dari laki-laki, misalnya di Sekolah Menengah Atas, juara UN Tahun 2013 tingkat nasional dari siswa perempuan ia adalah Ni Kadek Vani dari SMA Negeri 4 Denpasar Bali yang memiliki nilai rata-rata UN murni 9,87. Di Universitas Negeri Semarang diraih seorang perempuan bernama Raeni wisudawan terbaik yang mencapai IPK tertinggi sebesar 3,96 meraih gelar sarjana dalam waktu 3,5 tahun. Bahwa perempuan mampu membuktikan kemampuannya sebanding dengan laki-laki dengan meraih prestasi yang lebih baik.
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan dalam bentuk wawancara respon dari siswa atapun guru bimbingan dan konseling disekolah mengenai kepemimpinan perempuan atau ketua osis perempuan terdapat pandangan bahwa perempuan setara dengan laki-laki, serta perempuan mampu menjadi pemimpin. Dalam wawancara dengan wakil kepala sekolah SMA N 17 Jakarta bapak Agus Subagio bahwa perempuan lebih aktif, mempunyai inisiatif dan lebih berani mengambil keputusan dibandingkan dengan laki-laki. Menurut guru bimbingan dan konseling di SMA N 76 Jakarta ibu Nurlaeli bahwa seorang ketua osis tidak mesti seorang laki-laki, perempuan juga mampu memimpin suatu organisasi yang dikelolanya.
Organisasi di sekolah yang merupakan sarana yang dirancang pendidikan untuk melaksanakan kegiatan belajar dan akses untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekolah. Semakin maju masyarakat, semakin penting peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk kedalam proses pembangunan masyarakat itu. Sekolah tidak hanya bertanggung jawab memberikan berbagai ilmu pengetahuan, tetapi juga memberikan bimbingan dan bantuan kepada siswa serta memberdayakan para siswa sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki mereka masing-masing sesuai dengan tujuan pendidikan.
Kegiatan organisasi merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan siswa sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang diselenggarakan di sekolah. Di dalam Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 226/C/Kep/0/1993 disebutkan bahwa organisasi kesiswaan di sekolah adalah OSIS. Kepanjangan OSIS terdiri dari, organisasi siswa intra sekolah. OSIS adalah satu-satunya wadah organisasi siswa yang sah di sekolah. Oleh karena itu setiap sekolah wajib membentuk Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), yang tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan OSIS di sekolah lain dan tidak menjadi bagian / alat dari organisasi lain yang ada di luar sekolah. Tujuan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) merupakan satu-satunya wadah kegiatan para siswa di Sekolah bersama dengan jalur pembinaan yang lain untuk mendukung tercapainya tujuan pembinaan kesiswaan.
Di dalam organisasi, siswa mendapat pengetahuan yang tidak diperoleh di ruang kelas. Berorganisasi juga mendapat kesempatan bagaimana secara pribadi mereka bisa menjadi manusia yang bertanggung jawab atas tugas, komitmen atas sebuah amanat, memiliki relasi sosial yang banyak mengenal realita secara langsung, serta memperoleh keterampilan tambahan sebagai modal hidup. Proses pembelajaran dalam organisasi menantang siswa untuk dapat mengelola dirinya, baik secara emosi, sikap, pikiran, kepekaan sosial maupun pengembangan bakat yang dimilikinya.
Dalam kepemimpinan perempuan pada ketua OSIS di SMA penting untuk diteliti tidak cuma karena perbedaan gender tetapi karena tantangan dalam bersaing dengan laki-laki untuk menjadi ketua OSIS itu tidak mudah perlu tanggung jawab yang lebih besar untuk menjadi seorang pemimpin, mendorong perluasan akses bagi perempuan untuk menjadi pemimpin, adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan, membuka gerbang bagi perempuan menjadi seorang pemimpin. Hal ini berkaitan dengan bimbingan dan konseling di standar kompetensi kemandirian peserta didik yaitu pada aspek perkembangan; kesadaran gender. Serta mampu mengembangkan tugas-tugas perkembangan yaitu pada persiapan mandiri, pemilihan dan latihan jabatan. Selain berkaitan dengan standar kompetensi kemandirian peserta didik berkaitan juga dengan layanan dan fungsi bimbingan dan konseling yaitu layanan penempatan dan penyaluran yang mampu menyediakan kebutuhan, potensi, bakat dan minat siswa yang diselenggarakan di sekolah dan fungsi pemeliharaan dan pengembangan.
Mengingat kurangnya pemimpin perempuan disebabkan oleh adanya stereotip sosial yang menghambat perempuan untuk memimpin, maka bimbingan dan konseling memberi perluasan akses perempuan dalam mengembangkan kegiatan organisasi siswa intra sekolah. Oleh karena itu timbul suatu keinginan untuk meneliti tentang Gaya Kepemimpinan Perempuan Ketua Osis di Sekolah Menengah Atas se-Jakarta Timur.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah di uraikan di atas, maka dapat diidentifikasikan dengan berbagai masalah diantaranya sebagai berikut :
- Ada berapa macam gaya kepemimpinan perempuan?
- Gaya kepemimpinan apa yang digunakan ketua OSIS perempuan dalam organisasi?
- Apakah ada perbedaan gaya kepemimpinan perempuan dan laki-laki dalam organisasi siswa?
Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, maka peneliti membatasi masalah yang diteliti pada Gaya Kepemimpinan Perempuan pada Ketua Osis dalam organisasi di SMA se-Jakarta Timur.
Perumusan Masalah
Berdasarkan yang diuraikan di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah : Gaya kepemimpinan apa yang digunakan ketua osis perempuan pada osis di SMA se-Jakarta Timur?
Tujuan dan Kegunaan Hasil Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gaya Kepemimpinan Perempuan (Studi pada Ketua OSIS di SMA se-Jakarta Timur). Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:
- Sumber Pengetahuan berkaitan dengan Gaya Kepemimpinan Perempuan.
- Referensi tambahan atau perbandingan bagi peneliti lainnya tentang gambaran gaya kepemimpinan perempuan studi pada ketua OSIS di SMA se-Jakarta Timur, serta dapat memperkaya pustaka tentang bimbingan dan konseling khususnya yang terkait dengan gender salah satunya tentang gaya kepemimpinanan perempuan dalam OSIS.
- Civitas Pendidikan terutama guru bimbingan dan konseling, agar dapat memberikan pengetahuan serta pengarahan kepada siswa mengenai kepemimpinan berbasis gender.
- Bagi Kepala Sekolah atau Stakeholder memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya memberi perluasan akses perempuan dalam mengembangkan kegiatan OSIS.
- Bagi pembaca umum sebagai informasi mengenai kepemimpinan perempuan dalam OSIS di SMA se-Jakarta Timur dan hal-hal yang berhubungan dengan kepemimpinan perempuan.