Karya Tulis Tentang Imuninasi, Sistem Imun Dalam Tubuh Manusia, Antigen, Antibodi, Imunisasi dan Vaksinasi, Vaksin Campak
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia dalam kehidupannya tidak akan luput dari paparan penyakit. Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai unsur patogen, misalnya bakteri, virus, protozoa dan parasit dapat menyebabkan infeksi pada manusia.
Infeksi yang terjadi pada orang normal umumnya singkat dan jarang menimbulkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia sebenarnya telah mempunyai sistem kekebalan sebagai mekanisme pertahanan dalam mencegah masuk dan menyebarnya agen infeksi. Bila sistem pertahanan terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis mekanisme pertahanan yang terjadi, yaitu pertahanan spesifik dan non spesifik.
Infeksi yang terjadi pada orang normal umumnya singkat dan jarang menimbulkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia sebenarnya telah mempunyai sistem kekebalan sebagai mekanisme pertahanan dalam mencegah masuk dan menyebarnya agen infeksi. Bila sistem pertahanan terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis mekanisme pertahanan yang terjadi, yaitu pertahanan spesifik dan non spesifik.
Saat ini di Indonesia, banyak penyakit yang sudah dapat dicegah dengan imunisasi, seperti TBC, dipteri, campak, tetanus, polio, dan hepatits B. Dan program imunisasi pun sepertinya sudah banyak digalakkan, seiring dengan adanya dasar hukum penyelenggaraan program imunisasi (Susanto,2007). Tetapi agar pelaksanaan, tujuan, maupun sasaran imunisasi di Indonesia bisa berhasil dan memenuhi target, hendaknya ada kerjasama yang baik antara pemerintah, petugas kesehatan dan kesadaran masyarakat sendiri dengan diadakannya program imunisasi tersebut.
Berikut adalah kasus dalam skenario pertama:
Ibu Susi punya 2 anak. Anak pertama bernanma Amir, berumur 5 tahun dan anak kedua bernama Ali berumur 9 bulan. Ibu Susi membawa Ali untuk penimbangan ke Posyandu. Oleh petugas Posyandu disarankan agar Ali diimunisasi campak. Bu Susi ragu-ragu untuk imunisasi campak, sebab Amir pada usia 9 bulan juga sudah diimunisasi campak, tetapi ternyata tidak kebal sehingga pada usia tahun toh kena penyakit campak juga. Apalagi pernah ada anak tetangganya yang setelah mendapatkan imunisasi malah panas. Ada lagi anak lain yang di tempat suntikannya malah terjadi radang. Juga ada anak yang tidak berhasi dalam imunisasinya karena oleh dokter dinyatakan anak tersebut kurang gizi. Masalahnya, ada anak tetangga bernama Udin yang sering main ke rumah Bu Susi sekarang sedang menderita penyakit campak. Bu Susi takut anaknya ketularan, tapi Bu Susi juga masih meragukan apakah mungkin setelah diimunisasi si Ali bisa terhindar dari penyakit campak. Kenapa imunisasi campak tidak diberikan sejak lahir saja, dan bagi Udin yang sedang mendertia campak, apakah masih harus diimunisasi campak lagi?
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
- Mengapa setelah diimunisasi si Amir masih dapat terkena penyakit campak?
- Mengapa bisa timbul radang dan panas setelah mendapat imunisasi?
- Faktor apa saja yang mempengaruhi kegagalan imunisasi?
- Apakah ada efek samping dari imunisasi?
- Apakah setelah mendapat imunisasi masih dapat tertular penyakit campak?
C. TUJUAN PENULISAN
- Menjelaskan tentang respon imun fisiologis pada manusia.
- Memberikan informasi menganai imunisasi.
- Menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan imunisasi.
- Menjelaskan mengenai mekanisme terjadinya efek samping imunisasi
D. HIPOTESIS
Bagi Udin yang sedang menderita campak, tidak perlu diberi imunisasi campak lagi. Namun, untuk Ali yang berusia 9 bulan sudah saatnya dia diimunisasi campak untuk kekebalan tubuhnya terhadap penyakit campak dengan memperhatikan kondisi Ali terlebih dahulu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
A. SISTEM IMUN DALAM TUBUH MANUSIA
Yang dimaksud dengan sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Bratawidjaja,2002).
Sistem imun dibagi menjadi 2:
1. Sistem imun non-spesifik
Mekanisme fisiologik imunitas non-spesifik berupa komponen normal tubuh yang idak memerlukan induksi oleh pajanan mikroba dari luar, meskipun jumlahnya dapat meningkat akibat infeksi. Mekanisme tersebut tidak menunjukkan spesifitas, dan tidak tergantung atas pengenalan spesifik bahan asing. Pertahanan tersebut mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial.
Sistem imun non-spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi berbagai serangan mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respon langsung, sedangkan sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk menganal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya. Disebut sistem imun non-spesifik karena tidak ditujuan terhadap mikroorganisme tertentu, telah ada pada tubuh manusia dan siap berfungsi sejak lahir yang dapat berupa permukaan tubuh beserta komponennya (Baratawidjaya, 2002).
Sistem imun non-spesifik terdiri dari:
a. Pertahanan fisik/mekanik: kulit, selaput lendir, silia, respon batuk dan bersin.
b. Pertahanan biokimia: asam lambung, lisosim, dan laktoferin.
c. Pertahanan humoral : komplemen, interferon, dan C-reactive protein.
d. Pertahanan seluler : sel fagosit dan NK cell (Natural Killer Cell) (Baratawidjaya, 2002).
2. Sistem imun spesifik
Merupakan sistem imun yang didapat (adaptive/aquired). Mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya(antigen). Antigen yang pertama kali muncul dalam badan segera dikenali oleh sistem imun spesifik. Dan apabila kemudian suatu saat tubuh terpajan lagi oleh antigen yang sama, maka antigen yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Sistem imun spesifik juga terdiri dari pertahanan humoral dan seluler. Pertahanan humoral diperankan oleh limfosit B. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel akan berpoliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Fungsi utama antibodi adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler. Sedang pertahanan seluler diperankan oleh limfosit T. Dimana fungsinya adalah pertahanan terhadap infeksi intraseluler (Baratawidjaya, 2002).
B. ANTIGEN DAN ANTIBODI
Antigen adalah bahan yang dapat merangsangrespon imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada. Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen dan hapten. Imunogen adalah bahan yang dapat menimbulkan respon imun sedangkan hapten adalah molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada secara langsung, tetapi tidak dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung.
Antibodi merupakan globulin gamma yang disebut dengan imunoglobulin. Setiap antibodi bersifat spesifik untuk antigen tertentu, hal ini disebabkan oleh struktur untiknya yang tersusun atas asam-asam amino pada bagian yang dapat berubah dari kedua rantai ringan dan rantai berat.
Terdapat lima golongan antibodi IgM, IgG, IgE, IgA, dan IgD. Dari kelima golongan antibodi, terdapat dua golongan yang sangat penting: IgG, yang merupakan antibodi terbanyak (sekitar 75%) dari seluruh antibodi pada orang normal, dan IgE, yang merupakan antibodi dalam jumlah kecil tapi khususnya terlibat dalam dalam peristiwa alergi. Golongan IgM juga penting sebab sebagian besar antibodi yang terbentuk sewaktu terjadi respon primer adalah golongan ini (Guyton & Hall, 1997).
Respons imun sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenali antigen yang terdapat dalam patogen potensial dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen bersangkutan. Hal ini diawali dengan tertangkapnya antigen oleh makrofag atau monosit yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC), yang menyajikan antigen mikroba kepada sel T-helper. Makrofag menangkap antigen yang telah diopsonisasi dengan IgG, melakukan endositosis, memproses antigen lalu menampilkannya kembali (eksositosis) bersama-sama dengan ekspresi major histocompatibility complex (MHC) kepada sel T-helper. Atas pengenalan itu, sel T-helper merangsang sel B untuk memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen tersebut (Ertel W,1995).
C. IMUNISASI ATAU VAKSINASI
Vaksinasi telah terpakai bertahun-tahun untuk menimbulkan imunitas didapat terhadap penyakit-penyakit tertentu. Seseorang dapat divaksinasi dengan cara menyuntikkan organisme yang telah mati, yang tidak mampu menimbulkan penyakit lagi, tetapi masih mempunyai antigen kimiawi. Tipe vaksinasi ini dipakai untuk melindungi tubuh terhadap demam tifoid, batuk rejan, difteri, dan banyak macam penyakit bakterial lainnya. Dapat juga diperoleh imunitas terhadap toksin yang telah diolah dengan bahan kimia, sehingga sifat toksiknya sudah rusak walaupun antigen yang menimbulkan imunitasnya tetap utuh. Dan akhirnya, seseorang dapat divaksinasi dengan jalan menginfeksinya dengan organisme yang masih hidup tapi telah ‘dilemahkan’. Artinya, organisme ini dikembangbiakan dalam media biakan khusus atau dilewatkan pada serangkaian binatang sampai organisme ini cukup diimunisasi, sehingga tak akan menimbulkan penyakit tapi masih membawa antigen yang spesifik (Guyton & Hall, 1997).
VAKSIN CAMPAK
Mengandung vaksin campak hidup yang telah dilemahkan. Kemasan untuk program imunisasi dasar berbentuk kemasan kering tunggal. Reaksi imunisasi biasanya tidak terdapat reaksi. Kemungkinan terjadi demam ringan dan sedikit bercak merah pada pipi di bawah telinga pada hari ke 7-8 setelah penyuntikan atau pembengkakan pada tempat penyuntikan.
Efek yang terjadi sangat jarang, mungkin dapat terjadi kejang ringan dan tidak berbahaya pada hari ke 10-12 setelah penyuntikan. Dapat terjadi radang otak 30 hari setelah penyuntikan tapi angka kejadiannya sangat rendah.
Kontraindikasi pada vaksin campak adalah ketika kondisi tubuh sedang sakit parah, penderita TBC tanpa pengobatan, kurang gizi dalam derajat berat, gangguan kekebalan, penyakit keganasan, dan ibu hamil.
Dengan melihat data yang yang ada pada skenario, maka kasus yang timbul adalah apakah imunisasi yang akan diberikan kepada si Ali akan berjalan efektif, di mana keraguan ini muncul diperkuat oleh kondisi kakaknya yang ternyata walaupun sudah diimunisasi campak pada umur 9 bulan, yang seharusnya muncul kekebalan terhadap campak, ternyata pada umur 3 tahun masih dapat terkena penyakit campak.
Dan dari kasus ini, terdapat dugaan fenomena yang terjadi, yaitu : kondisi gizi dan sosial-ekonomi, baik keluarga si Ali maupun lingkungan sekitarnya yang buruk, dilihat dari berbagai kasus yang timbul di lingkungan hidup si Ali, di mana hal ini, terutama gizi buruk, dapat menurunkan imunitas tubuh seseorang (imunodefisiensi); kemudian umur 9 bulan merupakan umur yang belum efektif untuk dilakukan imunisasi campak, karena pada umur ini, masih terdapat imunitas alami pasif dari ibunya yang berupa antibodi campak yang sudah ada dalam tubuhnya, yang diperoleh dari asupan ASI, yang siap membunuh antigen yang sesuai dengan antibodi tersebut, dalam konteks kasus ini adalah virus campak, di mana hal ini dapat menghambat respons imun tubuh si Ali dalam membentuk kekebalan terhadap campak, sehingga nantinya masih dapat terkena penyakit campak lagi apabila antibodi si Ibu di dalam cairan limfe bekerja memberantas secara tuntas vaksin campak yang dimasukkan ke dalam tubuh Ali sebelum antigen virus campak ini mampu mengaktifkan sistem imun spesifik tubuh si Ali, sebagaimana cara pengaktifannya sesuai dengan pustaka yang didapat.
Pengaruh zat gizi terhadap keberhasilan imunisasi:
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan.efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).
KN PP KIPI membagi penyebab KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) menjadi 5 kelompok faktor etiologi menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:
1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)
Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
• Dosis antigen (terlalu banyak)
• Lokasi dan cara menyuntik
• Sterilisasi semprit dan jarum suntik
• Jarum bekas pakai
• Tindakan aseptik dan antiseptik
• Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
• Penyimpanan vaksin
• Pemakaian sisa vaksin
• Jenis dan jumlah pelarut vaksin
• Tidak memperhatikan petunjuk produsen
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
4. Faktor kebetulan (koinsiden)
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.
5. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI (Depkes RI, 2009).
Efek yang terjadi sangat jarang, mungkin dapat terjadi kejang ringan dan tidak berbahaya pada hari ke 10-12 setelah penyuntikan. Dapat terjadi radang otak 30 hari setelah penyuntikan tapi angka kejadiannya sangat rendah.
Kontraindikasi pada vaksin campak adalah ketika kondisi tubuh sedang sakit parah, penderita TBC tanpa pengobatan, kurang gizi dalam derajat berat, gangguan kekebalan, penyakit keganasan, dan ibu hamil.
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Dengan melihat data yang yang ada pada skenario, maka kasus yang timbul adalah apakah imunisasi yang akan diberikan kepada si Ali akan berjalan efektif, di mana keraguan ini muncul diperkuat oleh kondisi kakaknya yang ternyata walaupun sudah diimunisasi campak pada umur 9 bulan, yang seharusnya muncul kekebalan terhadap campak, ternyata pada umur 3 tahun masih dapat terkena penyakit campak.
Dan dari kasus ini, terdapat dugaan fenomena yang terjadi, yaitu : kondisi gizi dan sosial-ekonomi, baik keluarga si Ali maupun lingkungan sekitarnya yang buruk, dilihat dari berbagai kasus yang timbul di lingkungan hidup si Ali, di mana hal ini, terutama gizi buruk, dapat menurunkan imunitas tubuh seseorang (imunodefisiensi); kemudian umur 9 bulan merupakan umur yang belum efektif untuk dilakukan imunisasi campak, karena pada umur ini, masih terdapat imunitas alami pasif dari ibunya yang berupa antibodi campak yang sudah ada dalam tubuhnya, yang diperoleh dari asupan ASI, yang siap membunuh antigen yang sesuai dengan antibodi tersebut, dalam konteks kasus ini adalah virus campak, di mana hal ini dapat menghambat respons imun tubuh si Ali dalam membentuk kekebalan terhadap campak, sehingga nantinya masih dapat terkena penyakit campak lagi apabila antibodi si Ibu di dalam cairan limfe bekerja memberantas secara tuntas vaksin campak yang dimasukkan ke dalam tubuh Ali sebelum antigen virus campak ini mampu mengaktifkan sistem imun spesifik tubuh si Ali, sebagaimana cara pengaktifannya sesuai dengan pustaka yang didapat.
Pengaruh zat gizi terhadap keberhasilan imunisasi:
- Sebagai pembentuk rantai ringan imunoglobulin.
- Glikoprotein berfungsi sebagai pematangan imunoglobulin.
- Protein digunakan untuk menghasilkan lisis sel dan pembentukan fragmen petida atau polipeptida yang terlibat dalam berbagai aspek inflamasi.
- Defenzim membunuh bakteri dengan merusak membran selnya
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan.efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).
KN PP KIPI membagi penyebab KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) menjadi 5 kelompok faktor etiologi menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:
1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)
Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
• Dosis antigen (terlalu banyak)
• Lokasi dan cara menyuntik
• Sterilisasi semprit dan jarum suntik
• Jarum bekas pakai
• Tindakan aseptik dan antiseptik
• Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
• Penyimpanan vaksin
• Pemakaian sisa vaksin
• Jenis dan jumlah pelarut vaksin
• Tidak memperhatikan petunjuk produsen
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
4. Faktor kebetulan (koinsiden)
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.
5. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI (Depkes RI, 2009).
Dalam skenario ditanyakan mengapa setelah imunisasi terjadi radang? Pengikatan antara antigen dan antibodi akan membentuk kaskade rangkaian reaksi yang akan menghasilkan enzim C3a. Enzim ini selanjutnya mengaktifkan selm mast dan basofil yang kemudian teraktivasi menjadi histamin. Histamin menyebabkan red flare kalor (panas) dan rubor (merah), meningkatkan permeabiltas kapiler sehingga terjadi tumor (bengkak).
PENATALAKSANAAN
Dalam skenario ini, si ibu masih ragu apakah imunisasi akan berhasil atau tidak. Bila dari hasil pembahasan diatas, apabila si Ali yang berumur 9 bulan tidak sedang mengalami sakit parah dan datang dengan keadaan gizi yang baik, maka imunisasi dapat segera dilaksanakan.
Untuk anak yang sudah diimunisasi campak namun menunjukkan kegagalan (dapat terkena campak lagi) tidak perlu imunisasi campak. Penyakit campak yang datang setelah diimunisasi diakibatkan oleh berbagai faktor yang disebutkan diatas tetapi di dalam tubuh sudah terdapat sel memori antibodi terhadap campak sehingga tidak perlu imunisasi lagi.
Simpulan:
Saran:
Baratawidjaja, KG. 2002. Imunologi Dasar Ed.5. Jakarta: Penerbit FKUI.
Depkes R.I. 2009. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. http://www.depkes.go.id /index.php?option=news&task=viewarticle&sid=980&Itemid=2 (15 April 2009)
Ertel W, Kremer JP, Kenney J. 1995. Down Regulation of Inflammatory Cytokine Release in Whole Blood from Septic Patients.
Guyton, Arthur C.M.D. ;Hall. John E.Ph.D. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC.
Susanto, CE. Lima Persen Kasus Kematian Balita karena Penyakit yang Bisa Dicegah. 2007. http//www.mediaindonesia.com. (11 Februari 2007).
PENATALAKSANAAN
Dalam skenario ini, si ibu masih ragu apakah imunisasi akan berhasil atau tidak. Bila dari hasil pembahasan diatas, apabila si Ali yang berumur 9 bulan tidak sedang mengalami sakit parah dan datang dengan keadaan gizi yang baik, maka imunisasi dapat segera dilaksanakan.
Untuk anak yang sudah diimunisasi campak namun menunjukkan kegagalan (dapat terkena campak lagi) tidak perlu imunisasi campak. Penyakit campak yang datang setelah diimunisasi diakibatkan oleh berbagai faktor yang disebutkan diatas tetapi di dalam tubuh sudah terdapat sel memori antibodi terhadap campak sehingga tidak perlu imunisasi lagi.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan:
- Sistem imun tubuh manusia sangat kompleks dan lengkap, terdiri dari non-spesifik dan spesifik, sehingga manusia tidak mudah terkena penyakit walaupun virus dan bakteri terdapat dimana-mana.
- Apabila terjadi penurunan respon imun terhadap infeksi, hal ini dapat menyebabkan penurunan kondisi tubuh (cepat sakit).
- Imunisasi dapat membantu tubuh membentuk antibodi tertentu dengan bantuan mikroorganisme yang dilemahkan atau dimatikan dengan cara menginjeksinya dengan waktu-waktu yang telah ditentukan oleh dinas kesehatan setempat (dalam hal ini negara Indonesia memakai standar yang disertivikasi oleh Dinas Kesehatan RI).
- Usia 9 bulan adalah usia yang tepat bagi bayi untuk disuntik vaksin campak dengan ketentuan keadaan bayi tidak mengalami malnutrisi dan tidak sedang sakit parah.
Saran:
- Ali harus diimunisasi apabila ia sedang tidak sakit dan tidak mengalami gizi buruk karena Udin yang terkena campak takutnya menularkan penyakit tersebut ke Ali. Dan Amir tidak perlu lagi mendapat imunisasi campak.
- Imunisasi campak untuk balita hendaknya menunggu hingga usianya 9 bulan dengan pertimbangan Ig maternal yang dapat menghambat kerja vaksin menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, KG. 2002. Imunologi Dasar Ed.5. Jakarta: Penerbit FKUI.
Depkes R.I. 2009. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. http://www.depkes.go.id /index.php?option=news&task=viewarticle&sid=980&Itemid=2 (15 April 2009)
Ertel W, Kremer JP, Kenney J. 1995. Down Regulation of Inflammatory Cytokine Release in Whole Blood from Septic Patients.
Guyton, Arthur C.M.D. ;Hall. John E.Ph.D. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC.
Susanto, CE. Lima Persen Kasus Kematian Balita karena Penyakit yang Bisa Dicegah. 2007. http//www.mediaindonesia.com. (11 Februari 2007).