Lahirnya Kebijakan Perfilman Eropa, Perdagangan Global, WTO dan Perfilman Eropa, Perkembangan Terkini Kebijakan Perfilman Eropa

BAB II
UNI EROPA DAN KEBIJAKAN PERFILMAN


2.1  Lahirnya Kebijakan Perfilman Eropa


Lanskap perfilman Eropa telah lama ditandai dengan tradisi kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing global dari film Eropa. Upaya untuk melawan posisi dominan film asing, dalam hal ini terutama Hollywood misalnya, sudah muncul ke permukaan sejak 1920-an, ketika beberapa negara Eropa memberlakukan mekanisme kuota. Pada tahun 1921 pemerintah Jennan adalah yang pertama memperkenalkan kuota impor film, sebuah langkah yang diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya seperti Inggris dan Perancis.
Namun meski kebijakan audiovisual secara tradisional merupakan kewenangan para pembuat kebijakan di tingkat nasional, peran Uni Eropa (UE) dan Dewan Eropa (CoE) perlahan juga makin kuat. Masalah budaya awalnya benar-benar absen dari Treaty of Rome 1957, yang membentuk Masyarakat Ekonomi Eropa. Sebaliknya, Dewan Eropa (Council of Europe) yang dibentuk belakangan memiliki kewenangan budaya dari awal. Namun dalam jangka panjang, Dewan Eropa justru mempertahankan sifat pembuat kebijakan yang lebih 'lembut', sementara Uni Eropa, meskipun senng diwarnai keengganan dukungan negara-negara anggota, saat ini merupakan aktor yang paling menonjol di tingkat Eropa dalam soal kebijakan perfilman.
Kedua lembaga itu sudah mengambil langkah-langkah di area audiovisual - yang memayungi kebijakan perfilman sejak 1950, dan terus meningkatkan aktivitas pembuatan kebijakan budaya mereka pada 1960-an dan 1970-an. sementara lonjakan nyata dalam kegiatan kebijakan film di tingkat Eropa yang terjadi pada 1980-an. Alasannya, dari 1980-an awal, privatisasi dan liberalisasi menyapu sektor audiovisual Eropa, sebagaimana dicontohkan oleh penghapusan monopoli penyiaran pelayanan publik di seluruh Eropa.
Persaingan di pasar televisi menjadi begitu keras, yang menyebabkan meningkatnya permintaan untuk konten. Hollywood sepenuhnya memanfaatkan pasar hiburan rumah ini, sedangkan film asal Eropa justru menghadapi jatuhnya jumlah penonton, dan masalah lebih akut muncul pada agenda kebijakan.
Upaya meneguhkan kebijakan menjadi makin intensif pada 1990-an, seiring dengan menguatnya upaya ekonomi dan budaya menghadapi Hollywood dan kebutuhan merangkul revolusi teknologi baru yang menjadi lahan subur untuk menyusun sejumlah instrumen kebijakan film dalam kerangka Uni Eropa dan Dewan Eropa.

Dewan Eropa temyata menjadi semacam surga bagi proyek-proyek yang dianggap terlalu bersifat budaya atau terlalu mengancam kompetensi negara-negara anggota. Dewan Eropa juga menjadi jaring pengaman untuk menetapkan dana produksi-bersama, yang masih kekurangan dukungan negara-negara anggota ketika diusulkan menjadi proyek Uni Eropa pada 1984.

Maka, dua instrumen dirancang oleh Dewan Eropa untuk mendukung bidang audiovisual dengan basis antar-pemerintah (inter-govermental). Salah satunya adalah Audiovisual Eureka programme. Yang kedua adalah dana Eurimages, didirikan pada tahun 1989 di bawah naungan Dewan Eropa. Dana Eurimages didirikan berdasarkan kesepakatan sepihak Dewan Eropa. Duabelas negara anggota bergabung dalam Eurimages saat program itu operasional pada tanggal 1 Januari 1989.
Saat ini Euroimages memiliki 35 negara anggota, dengan inggris salah satu negara yang masih belum jadi anggota. Karakter antar-pemerintah dari Dewan Eropa temyata berhasil diterjemahkan menjadi peran dominan yang menggairahkan di bidang audiovisual. Selain program Eurimages, Dewan Eropa juga meinprakarsai pembentukan Audiovisual Observatory Eropa, sebagai sebuah lembaga yang bekerja mengumpulkan berbagai data dan informasi di lanskap audiovisual Eropa. Secara keseluruhan, Dewan Eropa cukup berhasil menjalankan fungsinya untuk merangsang perdebatan budaya dan pemberian rekomendasi di bidang kerjasama audioviusal, televisi lintas-perbatasan hak cipta, pertukaran dan pemeliharaan warisan budaya.
Teks yang juga penting dalam perfilman Eropa adalah Konvensi Eropa tentang Produksi Bersama Sinematografi. Konvensi ini ditandatangani pada 1992 dan saat ini telah diratifikasi oleh 42 penandatangan. Konvensi ini berlaku sejak 1994 dan telah berhasil menggantikan perjanjian co-produksi bilateral antara negara-negara Eropa.

Peran Konvensi ini adalah untuk mengurangi hambatan bagi kerjasama produksi film Eropa melalui penerapan aturan umum co-produksi antara setidaknya tiga pihak berbeda. Konvensi ini membentuk definisi "karya Eropa" berdasarkan daftar kriteria dan sistem poin. Hal ini memberi manfaat misalnya dalam hal akses ke dana nasional. Tetapi, pada dasamya pelaksanaan konvensi ini tetap saja bergantung pada ketentuan negara-negara anggota.

Dalam tubuh Uni Eropa sendiri, yang lebih banyak beredar adalah ide tentang pendekatan industri-ekonomi. Dalam hal dukungan terhadap sektor film, ini berarti bahwa peran Uni Eropa berurusan dengan segala hal kecuali co-produksi.
Oleh Uni Eropa, Program MEDIA ditetapkan sebagai proyek percontohan pada 1986, lalu secara resmi berjalan sebagai program MEDIA pertama pada 1990. Program itu berlanjut dengan tiga tahap Program MEDIA benkutnya. Program MEDIA yang terakhir adalah Program MEDIA 2007. Mulai 2014, Program MEDIA akan diintegrasikan ke dalam skema dukungan budaya lain di bawah bendera "Creative Eropa".
Ide besar yang mendasari kegiatan Uni Eropa di bidang perfilman ini adalah integrasi ekonomi dan pembentukan pasar bersama. Dalam rangka mewujudkan ini, kerangka kebijakan film Uni Eropa, di samping skema MEDIA dan bantuan dana lain, difokuskan pada pembentukan kerangka harmonisasi dan peraturan kebijakan persaingan.
Dalam upaya harmonisasi, instrumen utama audiovisual EU pada dasamya adalah Television Without Frontiers (TWF) Directive 1989, yang diperbarui kembali pada 1997. Setelah itu ada aturan pengganti TWF yaitu Audiovisual Media Services Directive (AYMs) 2007. Meski ini bukan kebijakan yang berurusan langsung dengan dunia perfilman, ketentuan kuota program televisi dalam aturan di atas, yang ditujukan sebagai bentuk promosi bagi karya-karya Eropa, menjadi sangat penting bagi industri film dan dapat dilihat sebagai pelengkap untuk mendukung Program MEDIA.

Namun, sejak awal gagasan 'kuota' ini telah menjadi subyek perdebatan sengit antara negara-negara anggota. Kompromi kata-kata di pasal yang relevan pada gilirannya menuai kritik karena ketidakjelasan, defmisi permisif dan kurangnya monitoring serta tmdak lanjut. Di luar penjelasan samar-samar dalam AVMs Directive terbaru (Recital 70), promosi spesifik konten Eropa non-nasional belum ditangani oleh aturan ini dengan baik.
Upaya harmonisasi lain menunjukkan bahwa Uni Eropa memiliki kesulitan dalam benar-benar mendorong pendekatan pasar bebas di sektor im. Sejumlah Copyright Directives misalnya diadopsi sebagai sistem hak berbagai penulis nasional yang rawan konflik dengan satu sama lain dan konflik dengan aturan pasar. Pendekatan Uni Eropa mengadopsi langkah-langkah harmonisasi memang telah memperkenalkan sistem hak cipta Uni Eropa yang satu. Namun ini belum mampu sepenuhnya menyelesaikan organisasi teritorial dan hak penjualan (audiovisual). Bandingkan dengan program komputer dan database telah menjadi subyek dari hannonisasi yang signifikan pada tmgkat Uni Eropa. Di bidang film, situasi hak cipta keseluruhan tetap menjadi salah satu harmonisasi relatif terbatas.

Uni Eropa dapat dikatakan telah lebih menonjol terlibat dalam penghapusan batas-batas nasional di pasar film melalui kebijakan regulasi kompetisi. Konrisi Eropa telah menerima mandat peraturan yang besar di bidang ini dan hanya dapat ditinjau oleh European Court of Justice. Ini adalah area yang telah sangat terpengaruh oleh ketegangan antara tujuan Uni Eropa untuk menciptakan pasar audiovisual tunggal, pengakuan terhadap karakter budaya di sektor film dan turunan dari aspek-aspek ini di bawah bendera subsidiaritas, ke tingkat nasional. Dimensi ekonomi dari industri film membuat Uni Eropa memberlakukan aturan kompetisi, tetapi karakter spesifik dari industri budaya telah menyebabkan adanya pendekatan khusus untuk sektor Film.
Di samping penerapan ketentuan anti-trust dan peraturan merger untuk sector film, pengaruh Komisi Eropa terutama dirasakan dalam soal peraturan mengenai bantuan negara (state aid). Sebagian besar langkah mendukung perfilman di tingkat nasional dianggap bantuan negara yang dimaksud dalam Pasal 107 Ayat 1 dari Treaty of the Functioning of European Union (TFEU), dan karenanya dilarang. Namun, beberapa kemungkinan jalan keluar telah ditemukan sebagai siasat untuk mengizinkan adanya skema ini. Berdasar Pasal 107 Ayat 3d terdapat klausul yang memungkinan disetujuinya bantuan negara khusus yang ditujukan untuk promosi budaya atau warisan konservasi. Pedoman Komisi yang telah dikembangkan untuk menentukan dan merealisasikan mekanisme bantuan negara nasional ini diabadikan dalam naskah yang diberi nama Komunikasi Sinema.

Komunikasi Sinema ini diterbitkan pada tahun 2001, dan merupakan upaya untuk memberikan kepastian hukum yang lebih besar dengan mengedepankan sejumlah standar kriteria evaluasi bertenggat hingga Juni 2004. Namun naskah ini tentu tidak bisa menyelesaikan semua ketegangan antara Komisi Eropa, negara-negara anggota dan para profesional di sektor film. Kriteria-kriteria yang ada dalam naskah itu secara rutin selalu mendapat serangan. Upaya oleh Komisi untuk memperkuat ketentuan penyatuan teritorial sampai sekarang terlihat terus diblokir oleh negara-negara anggota dan memperoleh oposisi dari sector film.

Peraturan bantuan negara hanyalah salah satu wilayah tempat kerangka kebijakan Uni Eropa juga harus memperhitungkan transformasi dalam ekosistem sektor film akibat evolusi digital. Baik Uni Eropa dan Dewan Eropa memiliki skema dukungan khusus untuk bidang ini dan dipasang dalam kerangka dukungan film masing-masing yaitu MEDIA dan Eurimages.

2.2  Perdagangan Global, WTO dan Perfilman Eropa

Upaya Uni Eropa untuk melindungi, dan membela kepentingan perfilman Eropa, dengan jelas terlihat dalam perundingan-perundingan di World Trade Organization.

Dalam organisasi perdagangan dunia itu, kepentingan perlindungan dan pembelaan Uni Eropa terhadap perfilmannya, berhadapan langsung dengan kepentingan Amerika Serikat, yang menginginkan pasar film dan persaingan di sector film dibebaskan sepenuhnya dari tarif, regulasi, dan segala jenis restriksi.

Melihat dan meneliti ulang perdebatan yang berlangsung dalam putaran-putaran perundingan dalam kerangka perdagangan dunia ini, akan memberi pelajaran dan pengetahuan, mengenai posisi dasar, kiat maupun strategi yang diambil Uni Eropa, dan negara-negara anggotanya dalam memperjuangkan kepentingan, terutama di sektor perfilman, ketika menghadapi kepentingan negara/kekuatan yang selama ini mendominasi pasar dan industri perfilman dunia.
Untuk memahami sensitivitas yang terkait dengan perundingan dan perdebatan di bidang perfilman, atau paying yang lebih besar lagi soal audiovisual, sejarah harus dilihat. Dan sejarah memperlihatkan bahwa Amerika Serikat telah muncul untuk mendesakkan liberalisasi sektor audiovisual ini sejak perundingan GATT (General Agreement on Trade and Tariff) pertama pada tahun 1947.

Ketika itu, sebagaimana telah disebut terdahulu, Amerika Serikat dihadapkan pada pembatasan atau penerapan kuota terhadap impor film-film mereka ke Eropa. Dalam perundingan untuk pemberian bantuan Marshall Plan, Amerika Serikat telah meminta Eropa untuk menghapuskan semua pembatasan, termasuk pembatasan impor film bioskop. Bagi Amerika, film tak lebih dari produk perdagangan seperti produk yang lain.
Namun, postulat ini jelas ditentang secara fundamental oleh orang Eropa. Sebagai hasil dari protes Eropa (sebagian besamya protes Perancis), film bioskop secara eksplisit dikecualikan dari Pasal III perjanjian GATT (National Treatment). Pasal itu menyatakan bahwa anggota dari perjanjian itu tidak boleh meinperlakukan produk impor dengan kurang menguntungkan dibanding produk mereka sendiri. Dengan mengeluarkan film bioskop dari Pasal 111, Eropa bisa terus menggunakan sistem kuota mereka jika diperlukan.

Pada 1960, Amerika Serikat lagi-lagi menegaskan bahwa pembatasan impor program televisi di Eropa bertentangan dengan ketentuan GATT. Dalam pandangan Amerika Serikat, program televisi tidak sama dengan film-film bioskop. Sebuah kelompok kerja khusus yang bertugas mempelajari perdagangan program televisi pun didirikan atas permintaan Amerika. Namun, Eropa lagi-lagi tidak siap untuk memberi konsesi pada kesempatan ini. Argumen Eropa bahwa Budaya/kebudayaan bukanlah produk seperti produk yang lain masih mudah diterima pada masa itu, sebab diskusi GATT memang diselenggarakan terutama untuk membahas secara eksklusif liberalisasi di bidang perdagangan dan industri barang-barang pertanian.

Tetapi, lebih dari 20 tahun kemudian, persoalannya menjadi sangat berbeda ketika pihak-pihak terkait memutuskan untuk memperpanjang kerangka GATT pada peluncuran putaran kedelapan liberalisasi di Punta del Este, Uruguay pada 1986. Kali ini, selain pembicaraan mengenai deregulasi perdagangan barang, dimulai juga perundingan awal terhadap liberalisasi sektor jasa (General Agreement on trade in Sendees - GATS).

Meskipun pada awalnya Masyarakat Eropa enggan setuju dengan usulan liberalisasi seluruh sektor jasa yang terutama datang dari Amerika ini, Eropa juga cepat menyadari bahwa ekonomi mereka juga akan mendapat manfaat dari liberalisasi parsial sektor jasa ini. Akibatnya, baik Amerika dan Eropa mencari liberalisasi sektor jasa ini, meskipun harus diakui mereka masih memiliki perbedaan kepentingan di sektor yang berbeda.

Amerika Serikat secara alami jelas melihat ini kesempatan untuk memperdebatkan agar sektor audiovisual dimasukkan dalam negosiasi liberalisasi global. Fakta bahwa Komisi Eropa, saat itu sedang dalam konteks mendiskusikan penerapan Television Without Frontiers Directive 1989 menunjukan mereka pada waktu itu sedang bergerak menuju pendekatan ekonomi yang lebih liberal terhadap sektor audiovisual. Hal ini jelas sedikit menggerogoti posisi tradisional Eropa bahwa sektor audiovisual harus dikeluarkan dari upaya liberalisasi global.

Adalah juga fakta saat itu bahwa Prancis justru sedang membuat pembalikan yang cukup radikal dengan kebijakannya melakukan privatisasi sektor penyiaran publik TF1. Tindakan Perancis ini menunjukkan pandangan bahwa televisi, meskipun mungkin produk yang tidak sama seperti yang lain, jelas secara ekonomis underexploited, juga sedang mendapatkan dukungandi Eropa. Dengan kata lain, jelas ada pelanggaran terhadap argumen tradisional Eropa yang proteksionis, sehingga masuknya sektor audiovisual dalam negosiasi menjadi tidak dapat dihindari.

Berikutnya The Uruguay round (1986-1994). Pada 1990, ketika putaran Uruguay seharusnya telah disepakati, namun pembicaraan diperpanjang karena adanya kebuntuan pada sektor pertanian, juga muncul kenyataan bahwa hanya sedikit kemajuan telah dibuat dalam bidang jasa liberalisasi. Kesalahan ini dianggap berasal dari perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip hukum yang akan memandu deregulasi jasa.

Persoalan dan isu audiovisual, yang mendorong ketegangan antara Amerika Serikat dan Eropa ke puncak, justru datang mendominasi agenda politik dan publik setelah akhir dari negosiasi, yaitu pada musim gugur 1993. Meskipun ada fakta bahwa banyak hal telah berubah di level nasional, sekali lagi Prancis meluncurkan polemik yang berpusat pada masalah sensitif ini. Pandangan neoklasik hubungan produk ekonomi-budaya pasar yang digunakan oleh Amerika Serikat memperoleh perlawanan berat — dengan peran perlawanan terpenting dimainkan oleh Menteri Kebudayaan Perancis J. Lang dan penggantinya J. Toubon.
Perlawanan diluncurkan terhadap liberalisasi sektor audiovisual — dengan fakta bahwa adanya ancaman dan serangan film-film dan program televisi Amerika di pasar Eropa — ditambah bantuan argumen bahwa sifat budaya dari industri film dan televisi membenarkan perlindungan melalui kuota dan subsidi.
Tidak hanya para profesionaf yang dipengaruhi oleh polemik ini. Para pemimpin politik seperti Presiden Mitterand dan Perancis dan Presiden Amerika Bill Clinton menjadi terlibat secara terbuka pada debat audiovisual ini. Kenyataan bahwa dua pemimpin dunia tersebut turun tangan pada dasamya terkait erat dengan tekanan yang mereka terima di dalam negeri. Industri budaya di Perancis merupakan sektor penting dari para pemilih dan merupakan kelompok lobi yang kuat untuk Sosialis Perancis. Sementara Hollywood, yang terwakili oleh sosok pelobi MPAA Jack Valenti, adalah salah satu pendukung keuangan yang paling penting dari Partai Demokrat Amerika Serikat.
Delegasi negosiasi Eropa pun kemudian berusaha mencari jawaban atas Permintaan Amerika untuk liberalisasi sepenuhnya di sektor jasa audiovisual. Penerimaan atas permintaan itu jelas akan berarti bahwa ketentuan kuota sebagaimana termasuk dalam Television Without Frontiers (TWF) Directive akan melanggar peraturan perdagangan. Beberapa kalangan berpikir bahwa sektor audiovisual harus dikecualikan sepenuhnya dari Perjanjian GATS.

Namun, sebagian besar pihak yang terlibat mengadopsi pandangan bahwa semua layanan harus dimasukkan dalam perjanjian global, dan dengan demikian sektor audiovisual juga. Dalam hal ini, status terpisah jasa audiovisual sebagai produk budaya akan tetap dimasukkan dalam perjanjian, sehingga kuota dan subsidi akan tetap dimungkinkan. Dengan demikian, kekhususan budaya diusulkan sebagai suatu ketentuan. Masyarakat Eropa juga akan membuat jumlah komitmen (minimum) di sektor audiovisual. Parlemen Eropa menyatakan diri mendukung opsi ini pada bulan Juli 1993.

Namun, ada juga pendukung pilihan ketiga. Pendukung altematif pilihan ini menyatakan pengistimewaan budaya tidak akan menawarkan jaminan yang memadai untuk pelestarian peraturan audiovisual Eropa dan langkah-langkah dukungan dan akibatnya untuk industri audiovisualnya. Pendukung pilihan ketiga ini menganjurkan mendapatkan pengecualian budaya (cultural exception). Dalam hal ini, mereka merujuk Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Area) antara Kanada dan Amerika Serikat dimana sektor audiovisual dianugerahi status yang luar biasa. Meskipun FTA itu tidak sepenuhnya berisi jaminan yang diinginkan para pendukung pilihan ketiga, hal itu tetap merupakan preseden penting yang bisa digunakan dalam debat publik dan politik.

Pada tanggal 30 September 1993 Parlemen Eropa kembali ke posisinya semula. Parlemen Eropa meminta Komisi untuk bemegosiasi pada sektor audiovisual atas dasar suatu pengecualian budaya. Akhimya klausa ‘pengecualian budaya’ mendapat dukungan dari semua negara anggota meskipun ada sejumlah keberatan dari beberapa dari mereka. Keberatan muncul antara lain karena berdasarkan 'kekhususan budaya' itu, berbagai departemen dalam Komisi Eropa mungkin tidak bisa menawarkan jaminan hukum yang memadai untuk pencapaian tujuan Eropa.

Dalam hal diskusi mengenai, pengecualian budaya, kekhususan atau pengecualian ini menjadi jelas bahwa mendefmisikan konsep adalah sangat penting dalam pembentukan dan penafsiran peraturan. Pennasalahan ini telah muncul pada isu audiovisual ini, khususnya fakta bahwa berbagai interpretasi dari konsep yang ada sebagian besar memunculkan polemik di sekitarnya.

Tepat sebelum penutupan putaran Uruguay, Amerika pada gilirannya menetapkan persyaratan yang lebih tinggi. Kebuntuan pun lalu muncul tak terpecahkan. Pada akhimya, tidak tercapai kesepakatan antara Uni Eropa dan Amerika Serikat mengenai
deregulasi sektor audiovisual ini. Uni Eropa mengadopsi rentang pengecualian yang sangat luas dari prinsip MFN (Most Favoured Nation) untuk sektor audiovisual dan tidak mau membuat komitmen untuk liberalisasi. Namun, ini tidak berarti bahwa sektor ini tidak mengalami aturan umurn GATS. Selain itu, tidak ada keberhasilan yang dicapai dalam menggabungkan konsep pengecualian budaya. Sengketa ini karenanya 'dipetieskan' melalui kompromi, sehingga tidak ada pihak terlibat yang melihat tujuannya bisa terpenuhi.

Sektor audiovisual sepenuhnya berada di bawah ketentuan perjanjian, dengan berbagai pengecualian dan batas. Namun, untuk memahami basil akhir dan ruang lingkup negosiasi pada sektor audiovisual, diperlukan wawasan pemahaman terhadap struktur global GATS, serta kesepakatan dan prinsip-prinsip yang mendasari.

Bagaimana struktur GATS dan prinsip-prinsipnya membawa implikasi bagi kebijakan audiovisual? GATS adalah subbagian dari perjanjian Marrakesh yang menutup putaran Uruguay pada bulan April 1994. Perjanjian yang sama juga berisi kesepakatan untuk menciptakan kerangka kerja untuk liberalisasi kekayaan mtelektual (TRIPs) serta keputusan pembentukan WTO itu sendiri untuk mengawasi tiga perjanjian perdagangan umum (GATT, GATS dan TRIPs).

Prinsip-prinsip dasar yang mendasari GATS sebagian besar sejajar dengan alasan di belakang pembentukan GATT. Tujuan utamanya adalah untuk menderegulasi perdagangan global. Namun, seperti layanan alam yang berbeda, pada GATS fokus untuk mencapai tujuan terletak di tempat lain. Jika harga terutama dapat menjadi penghalang untuk barang, dalam kasus GATS ini layanan, peraturan yang memberlakukan pembatasan perusahaan, atau regulasi yang mencegah akses pasar merupakan pembatasan yang utama. Oleh karena itu GATS berfokus lebih pada kebijakan peraturan negara anggota, dengan hanya sedikit perhatian ditujukan pada kebijakan harga mereka.

Saat ini, secara resmi dasar hukum yang menjadi landasan dan kebijakan audiovisual Eropa adalah pasal-pasal yang terkandung dalam Treaty on the Functioning of The European Union (TFEU) atau yang lebih akrab dikenal sebagai Treaty of Lisbon yang ditandatangani 13 Desember 2007 dan berlaku sejak 1 Desember 2009.

Dalam TFEU, terdapat Pasal 28, 30, 34, 35 yang mengatur pergerakan bebas barang;-Pasal 45-62 yang mengatur pergerakan bebas orang, jasa dan modal; lalu Pasal 101-109 tentang kebijakan persaingan; pasal 114 tentang harmonisasi teknologi atau penggunaan standar teknologi, misalnya, dalam produksi internet; kemudian pasal 165 mengenai pendidikan; Pasal 166 mengenai pelatihan kejuruan; serta Pasal 167 mengenai budaya; dan Pasal 173 mengenai industri.
Sebagaimana Traktat sebelumnya, Treaty of Lisbon im juga tidak memberikan hak dan wewenang kekuasaan langsung untuk bidang kebijakan media audiovisual. Yurisdiksi atas kebijakan media mi ditarik dari berbagai pasal-pasal dalam TFEU untuk membentuk kebijakan bagi berbagai sektor teknologi komunikasi maupun media.
Meskipun begitu, dalam beberapa tahun terakhir, perhatian langsung telah diberikan dalam bentuk revisi traktat untuk mempertajam kebijakan audiovisual. Karena itu, dasar hukum pembentukan kebijakan media dan audiovisual ini boleh dikata sangat bervariasi dan berasal dari berbagai sumber. Hal ini terutama karena pada dasarnya jasa dan benda-benda media ini merupakan soal yang sangat kompleks karena tak bisa semata didefinisakn sebagai barang budaya atau sebagai barang ekonomi.

Menurut Pasal 167 TFEU, Uni Eropa mendorong kerja sama antara negara-negara anggota dan, jika perlu, mendukung tindakan-tindakan mereka di bidang penciptaan sem dan sastra, dalam hal ini termasuk sektor audiovisual. Peran Uni Eropa dalam bidang audiovisual pada dasamya adalah untuk menciptakan pasar tunggal Eropa bagi layanan audiovisual. Namun selain itu, disyaratkan juga untuk selalu mempertimbangkan aspek budaya dalam semua kebijakannya.

Berikut adalah implementasi dari kebijakan audiovisual dan media Uni Eropa:

Kerangka Peraturan

Revisi 'Television tanpa batas' (TVwF) Directive (89/552/EEC) diluncurkan pada tahun 2005 dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi di sektor ini, terutama konvergensi antara jasa dan teknologi (dalam arti bahwa perbedaan tradisional antara telekomumkasi dengan broadcasting menjadi semakin kabur), serta makin pentingnya layanan non-linear seperti 'video on demand' (VoD).

Oleh karenanya sebuah semesta peraturan bersama dibutuhkan untuk melingkupi semua layanan tersebut dan tidak semata hanya broadcasting - sesuatu yang sekarang dikenal sebagai 'layanan media audiovisual'- terlepas dari teknologi yang dipakai untuk menghantarkan ataupun cara bagaimana layanan itu dilihat.

Unsur-unsur utama The Audiovisual Media Services Directive ini adalah:

- Sebuah kerangka komprehensif yang mengurangi beban regulasi, tapi mencakup semua layanan media audiovisual;

- Memodemisasi aturan iklan televisi yang bisa meningkatkan kemampuan pembiayaan konten audiovisual;

- Fitur baru seperti kewajiban yang mendorong penyedia layanan media untuk meningkatkan akses bagi publik yang memiliki gangguan visual atau pendengaran.

Komisi Eropa menyampaikan laporan pertama tentang penerapan AVMs directive pada 4 Mei 2012. Laporan itu menunjukkan bahwa sementara AVMs directive bekerja efektif, perubahan yang dipicu oleh internet seperti TV online bisa mengaburkan batas antara penyiaran dan pengiriman konten audiovisual. Akibatnya, kerangka peraturan yang saat ini ditetapkan dalam AVMSD masih perlu diuji terhadap perkembangan pola pengiriman maupun pola menonton, sambil memperhitungkan tujuan kebijakan terkait seperti perlindungan konsumen dan tingkat melek media.

Akibatnya, pada tanggal 24 April 2013 Komisi menerbitkan Kertas Hijau, 'Persiapan Bagi Sebuah Dunia Audiovisual Yang Sepenuhnya Konfergen: Pertumbuhan, Penciptaan dan Nilai-Nilai', dengan tujuan memancing diskusi publik yang luas mengenai implikasi dari transformasi yang sedang berlangsung pada lanskap media audiovisual, yang ditandai oleh peningkatan konvergensi layanan media, serta cara layanan ini dikonsumsi dan disampaikan.
Directive berisi aturan khusus untuk melindungi anak di bawah umur, dan melindungi mereka dari layanan media audiovisual on-demand yang tak layak. Aturan-aturan ini dilengkapi dengan rekomendasi tahun 1998 dan 2006 tentang perlindungan anak di bawah umur dan martabat manusia, dan program Aman Internet' yang mempromosikan penggunaan internet dan teknologi online baru yang lebih aman, terutama untuk anak-anak. 

Uni Eropa juga bertujuan mendorong negara-negara anggotanya untuk bekerja sama dalam konservasi dan penyelamatan warisan budaya Eropa (Pasal 167 TFEU). Rekomendasi bagi negara anggota adalah untuk untuk secara metodis mengkoleksi, mengkatalogkan, mengawetkan dan memulihkan warisan film ini sehingga dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Anggota EU setiap dua tahun dimmta untuk melaporkan apa yang telah mereka lakukan dalam hal ini.

Program Pendanaan Creative Europe

Program MEDIA, yang telah ada sebelum peogram Creative Europe, tercatat telah mendukung pengembangan dan distribusi ribuan film serta menyediakan kegiatan pelatihan, festival dan proyek promosi di seluruh Eropa selama 22 tahun. Program MEDIA 2007, yaitu program pada kurun 2007 - 2013 adalah yang keempat dari paket program yang berlangsung sejak 1991 ini.

Sementara Program MEDIA Mundus adalah program kerjasama internasional bagi industri audiovisual yang dimaksudkan untuk memperkuat hubungan budaya dan komersial antara industri film di Eropa dengan pembuat film dari negara-negara ketiga.
MEDIA International (tindakan persiapan) bertujuan mengeksplorasi cara memperkuat kerjasama profesional antara Eropa dan professional industri audiovisual dari negara dunia ketiga dengan dasar yang saling menguntungkan. Hal ini juga bertujuan untuk mendorong aliran dua arah karya sinematografi/ audiovisual.

Mulai 2014 program Creative Europe menggantikan program MEDIA, MEDIA Mundus dan program-program Culture. Dengan total anggaran sebesar EUR 1,46 miliar (2014-2020), anggaran Creative Eropa ini meningkat 9% dibanding program-program yang digantikannya.

Creative Europe dibangun untuk melanjutkan keberhasilan program sebelumnya. Tujuannya adalah untuk lebih jauh lagi memperkuat kerjasama lintas-perbatasan antar sektor kreatif dalam Uni Eropa, dan juga diluar Uni Eropa. Melalui Creative Eropa sektor budaya dan sector kreatif akan memberikan kontribusi bagi keragaman budaya, juga berkontribusi terhadap pertumbuhan dan penciptaan lapangan pekerjaan di Eropa. Creative Europe dibentuk sejalan dengan strategi Eropa 2020 bagi pertumbuhan yang cerdas, inklusif dan berkesinambungan.

Program Creative Europe akan terus menangani industri audiovisual melalui MEDIA sub-program, serta menangani sektor budaya melalui sub-Program Culture. Sebagaimana dengan program MEDIA sebelumnya, funding (pendanaan) akan terus dikucurkan untuk pelatihan, pengembangan, distribusi, penjualan, promosi (untuk pasar maupun festival) dan pembangunan janngan bioskop. Selain itu, Creative Eropa juga memiliki strategi cross-sectoral yang mencakup dana jaminan (Guarantee Fund) keuangan baru untuk industri budaya dan kreatif yang akan diperkenalkan paska 2014.
Creative Europe adalah bagian dari Kerangka Keuangan multiannual (Multiannual Financial Framework) yang menetapkan parameter untuk anggaran keseluruhan Uni Eropa periode 2014 - 2020. Berdasar kesepakatan, sedikitnya 56% dari alokasi anggaran disisihkan untuk sub-program MEDIA, lalu sedikitnya 31% untuk subprogram Cultures dan paling banyak 13% untuk bidang lintas sektoral. Bidang lintas sektoral ini meliputi Dana Jaminan (Guarantee Fund); dana penunjang bagi Creative Europe Desks yang pada 2014 akan menggantikan MEDIA desks dan Cultural Contacts points); serta kerjasama kebijakan transnational. Secara bertahap, tmdakan lintas sektoral khusus juga akan diperkenalkan.
Tindakan lain seperti mempromosikan distribusi konten online, media literasi dan pluralisme media

Media literasi adalah kemampuan untuk mengakses media, untuk memahami dan mengevaluasi berbagai aspek dan konten media secara kritis dan kemampuan berkomunikasi dalam berbagai konteks. Media literasi adalah keterampilan mendasar tidak hanya bagi generasi muda tetapi juga untuk orang dewasa, termasuk orang tua, lansia, guru dan bahkan profesional media. Uni Eropa menganggap media 1 iterasi atau melek media ini faktor penting bagi tumbuhnya warganegara yang aktif dalam era masyarakat informasi saat ini.

Pluralisme media merujuk pada kebutuhan akan transparansi, kebebasan dan keberagaman dalam lanskap media di Eropa. Pada awal 2012 Uni Eropa mendirikan Pusat Pluralisme Media and Kebebasan Media (CMPF) di Robert Schuman Centre for Advanced Studies, sebuah research initiative dalam European University Institute di Florence, dengan dana pendamping dari Uni Eropa. The CMPF merupakan langkah lebih lanjut dalam upaya Komisi untuk memperbaiki perlindungan terhadap pluralisme media dan kebebasan media di Eropa, dan untuk menentukan perlu tindakan yang perlu diambil di tingkat Eropa atau negara untuk mendorong tujuan tersebut.


Tindakan di luar Uni Eropa - terutama niembela kepentingan budaya Eropa dalam Organisasi Perdaganangan Dunia (World Trade Organization).
Sektor audiovisual menghadapi tantangan dan peluang yang dibawa oleh intemasionalisasi pasar yang terus meningkat serta kemajuan pesat teknologi informasi dan teknologi komumkasi. Dimensi intemasional kebijakan audiovisual memiliki dampak pada apa yang terjadi di tingkat Uni Eropa dan di tingkat negara-negara anggota. Ini mencakup lima bidang utama:

- Perluasan Uni Eropa (enlargement)
- Kebijakan Pertetanggan Eropa (European Neighbourhood Policy)
- Hubungan dagang, Forum intemasional yang relevan di bidang ini adalah WTO dan OECD
- promosi keragaman budaya (UNESCO)
- kerjasama dalam kebijakan audiovisual
Inisiatif lain
Sejak 1995, 'Hari Eropa' di Festival Film Cannes telah difokuskan pada promosi film produksi Eropa. Penghargaan 'bakat barn di Uni Eropa' diperkenalkan pada tahun 2004 untuk mempublikasikan sutradara muda Eropa yang telah mengikuti pelatihan dibawah sponsor program MEDIA.

Peran Parlemen Eropa

Parlemen Eropa (European Parliament) telah menekankan bahwa Uni Eropa harus merangsang pertumbuhan dan daya saing sektor audiovisual sambil tak melupakan signifikansi perannya dalam menjaga keragaman budaya. Resolusi Parlemen Eropa pada 1980-an dan awal 1990-an mengenai televisi bemlang kali menyerukan standar teknis yang sama untuk penyiaran langsung melalui satelit dan untuk HDTV.

1. Dari TVwF Directive ke AVMSD


Upaya pertama untuk membentuk kebijakan audiovisual Uni Eropa dipicu oleh perkembangan satelit penyiaran pada awal 1980. The TVwF Directive diadopsi pada 1989 dan Parlemen Eropa sangat mendukung kebijakan itu. Naniun, kemudian perkembangan teknologi dan pasar membuat dirasa perlu untuk mengubah kerangka peraturan audiovisual. The TVwF Directive direvisi pada 1997 dan 2007. Berdasar revisi terakhir, direktive TVwF pun berganti nama menjadi Audiovisual Media Service Directive (AVMSD).

2. Audiovisual Media Services Directive (AVMSD)


The AVMSD Directive ini dianggap sebagai modemisasi TVwF Directive dan melingkupi juga layanan bam media seperti TV web dan layanan on-demand. Disetujuinya AVMSD ini merupakan hasil dari negosiasi antara Parlemen Eropa (EP) dan Dewan (European Council) yang memperhitungkan sebagian besar persoalan yang disebut dalam laporan pertama Parlemen Eropa. Negara Anggota memiliki waktu dua tahun untuk mengakomodasi aturan bam ini ke dalam hukum nasional, dan kerangka hukum modern untuk bisnis audiovisual ini dinyatakan berlaku sejak akhir tahun 2009.

Pada tanggal 22 Mei 2013 Parlemen Eropa menerbitkan pengamatannya tentang pelaksanaan AVMs Directive. Di dalam dokumen ltu, EP memaparkan beberapa pengamatan dan rekomendasi. khususnya dalam hal aksesibilitas, promosi karya audiovisual Eropa, perlindungan anak di bawah umur, iklan, tantangan masa depan dan kompetisi internasional.

Dalam laporan swadaya mengenai TV Terkoneksi (Connected TV) yang diadopsi pada 10 Juni 2013, Parlemen Eropa meminta Komisi Eropa untuk mengevaluasi sejauh mana perlunya revisi untuk AVMs Directive and peraturan lain tentang Network dan Media. Sehubungan dengan aturan tentang findability dan non-discriminatory access ke platform bagi penyedia konten dan pengembang konten serta bagi pengguna, meluaskan konsep platform, dan untuk mengadaptasi instrumen yang ada untuk konstelasi barn, terutama dalam pengembangan TV Connected.

Baru-baru ini, Komite CULT Parlemen Eropa sebagai mosi untuk resolusi EP pada Mempersiapkan sebuah dunia yang Fully Converged Audiovisual Dunia (dalam menanggapi Green Paper Komisi pada isu yang sama). Dalam hal ini, Parlemen Eropa mengambil catatan dan konvergensi pasar, menekankan kebutuhan untuk menjamin akses dan findability dan untuk melindungi keanekaragaman dan pendanaan model, dan analisis frekuensi infrastructureand, nilai-nilai, dan kerangka peraturan.
Daftar Isi
  1. Pedoman Penulisan, Tugas Akhir, Program Diploma Tiga, AMIK BSI
  2. Pedoman Penulisan, Pedoman Teknis, Tugas Akhir, Mahasiswa Universitas Indonesia
  3. PEDOMAN PENULISAN KARYA ILMIAH UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
  4. Contoh Skripsi Hukum Konsep Green Banking
  5. Pelaksanaan Pemberian Santunan, Korban Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, PT. Jasa Raharja, Kantor Pelayananan Cabang Banten
  6. Sejarah Berdirinya PT. Jasa Raharja (Persero)
  7. METODE PENELITIAN
  8. HASIL ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI
  9. Kesimpulan
  10. PENGARUH ELECTRONIC WORD OF MOUTH TERHADAP PURCHASE INTENTION MELALUI VARIABEL MEDIASI BRAND IMAGE PADA STUDI KASUS SMARTPHONE ASUS (ZENFONE)
  11. Analisis Harmoni dan Interpretasi Lagu "Corat-Coret" Karya Mochtar Embut
  12. Penataan dan penguatan organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
  13. Pengertian Global Positioning System (GPS) atau Navstar
  14. Ilmu Pengetahuan dan Penelitian
  15. Cara-Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan Sehingga Mendapat Sebuah Kesimpulan
  16. Cara Ilmiah dalam Memperoleh Pengetahuan
  17. Kriteria Metode Ilmiah
  18. The Value-Added of Development Communication “Kampanye KB Oleh BPMPKB Provinsi DKI Jakarta”
  19. Skripsi Hukum Pidana Bab I Pendahuluan
  20. Skripsi Musik, Bentuk Musik, Fokus Permasalahan, Rumusan Masalah, Manfaat Penelitian, Pengertian Analisa Musik, Unsur-unsur musik, Harmoni, Tempo
  21. Pengelolaan Website, Internet dan Dunia Kerja, Aplikasi Website dalam Public Relations, Keuntungan Aplikasi Website, Internet Sebagai Media Publisitas, Mengelola Website, Efektivitas Website
  22. Apa Mitos Di Balik Pembuatan Skripsi
  23. Skripsi Tentang Kepemimpinan Perempuan Bab I
  24. Karya Tulis Tentang Imuninasi, Sistem Imun Dalam Tubuh Manusia, Antigen, Antibodi, Imunisasi dan Vaksinasi, Vaksin Campak
  25. Motivasi, Pengabdian pada Profesi, Kewajiban Sosial, Kemandirian, Hubungan Sesama Profesi, Keyakinan pada Profesi, Kualitas auditor 
  26. Telaah Pustaka Pengaruh Faktor-Faktor Akuntabilitas Auditor dan Profesionalisme
  27. Analisis Eksternal, Analisis Internal, Bisnis Model Kanvas, SWOT, TOWS Matrix, Manajemen Strategi, Aspek Operasional, Aspek Pemasaran, Aspek Sumber Daya Manusia
  28. Metodologi Penelitian, Jenis Penelitian, Objek Penelitian
  29. Profil Bisnis, Gambaran Umum Perusahaan, Visi, Misi, Logo Perusahaan, Makna Logo Perusahaan
  30. Analisis Lingkungan Bisnis, Analisis Pestel, Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Analisis 5 Forces Porter
  31. Implementasi Strategi, Membuat Perencanaan Strategis, Melakukan Pembenahan Internal, Mengembangkan media promosi
  32. Kesimpulan dan Saran, analisis internal dan eksternal
  33. Contoh Daftar Isi Skripsi
  34. Skripsi Public Relations dengan Judul Pentingnya Public Relations Untuk Pengembangan Bisnis
  35. Skripsi Virtual Private (VTN), Analisis Jaringan Virtual Private Network Point To Point Protokol
  36. Konsumsi Nasional Menuju Proses Penggelembungan (Bubble) yang Mengkhawatirkan
  37. Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian
  38. Pengaruh Etika Kerja, Komitmen Organisasi, Kinerja Pegawai, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah
  39. Pedoman Penulisan, Pembimbingan dan Ujian Skripsi Pelita Bangsa
  40. Latar Belakang, India Melirik Kearah Timur, Orientasi Hubungan Antar Negara Kawasan Asia, Look East Policy (LEP)
  41. Contoh Tesis, Rumusan Masalah, Signifikansi Penelitian, kerjasama Mekong, Ganga Cooperation Initiative
  42. Era Kolonial Inggris, Pasca Kemerdekaan, Pasca Perang Dingin
  43. Penggunaan Media Inovasi Intraoral Camera, Teknologi Kedokteran Gigi, Tinjauannya Berdasarkan Perpektif Islam
  44. Uni Eropa dan Kebijakan Perfilman, Implementasi Kebijakan Perfilman Uni Eropa: Pembiayaan, Manajemen dan Regulasi
  45. Lahirnya Kebijakan Perfilman Eropa, Perdagangan Global, WTO dan Perfilman Eropa, Perkembangan Terkini Kebijakan Perfilman Eropa
  46. Pembiayaan untuk Perfilman, Bantuan Film Referensi, Bantuan Film Panjang, Bantuan Film Panjang, TV Broadcast Restrictions
  47. PERSAINGAN, KERJASAMA DAN REARSI NEGARA DALAM LINGKUP KEBIJAKAN PERFILMAN EROPA
  48. Kebijakan Film Uni Eropa berkembang antara kreativitas dan pasar, inheren terjepit antara seni dan perdagangan.
  49. Daftar Bacaan, Kebijakan Film Uni Eropa berkembang antara kreativitas dan pasar
  50. Pemicu Munculnya Reformasi Tahun 1998 
  51. Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, Waktu dan Tempat Penelitian, Jenis Penelitian, Teknik Pengumpulan Data
  52. Landasan Teori, Teori Partai Politik
  53. Teori Partisipasi Politik
  54. Sejarah Ringkas Kelahiran PDI Perjuangan
  55. Kondisi politik PDI di bawah kekuasaan Orde Baru
  56. Visi dan Misi PDI Perjuangan
  57. Pengertian Public Area Section, Tugas dan Tanggung Jawab Public Area Attendant
  58. Persiapan Kerja Seorang Public Area, Standar penampilan, Standar perilaku dasar, Sikap Dasar, Syarat Khusus
  59. Analisis Literatur, Sejarah Asuransi di Dunia, Sejarah Asuransi di Indonesia, Tinjauan Umum Asuransi, Pengertian Asuransi, Jenis-Jenis Asuransi
  60. Pengaruh Leverage, Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, dan Price Earning Ratio Terhadap Nilai Perusahaan
  61. Kopi adalah salah satu minuman yang disukai dan banyak dikonsumsi di dunia
  62. Pengertian Kepailitan | Subjec dan Objek Kepailitan | Pihak Pemohon Pailit | Debitor pailit | Persyaratan Debitor dinyatakan Pailit | Perdamaian dalam PKPU
  63. Persyaratan Profesional Auditor | Tanggung Jawab Terhadap Profesi | Definisi Indepedensi Akuntan Publik
  64. Consumer Behaviour | Consumer Attitude | Analisis Perilaku Konsumen Dalam Pembelian Komputer Merek Acer
  65. Teknologi Internet Mempengaruhi Perkembangan Ekonomi | Pengaruh Orientasi Belanja Online | Pencarian Informasi Online
  66. Bahan PKL untuk Materi Perhotelan
  67. Skripsi Tentang Pangan, Tata Boga, Pengembangan Bisnis
  68. Protein, Masalah pada Protein Hewani, Berapa Banyak Protein, Keuntungan Protein Nabati, Komplementasi Protein
  69. Mutu Keberhasilan, Indikator Kebersihan Restroom, Definisi Kajian Hotel, Departemen-Departemen Yang Ada di Hotel
  70. Industri pariwisata di Indonesia sudah berkembang cukup pesat
  71. PENGARUH PENGAWET ALAMI DAN BUATAN PADA JAGUNG TERHADAP KESEHATAN TUBUH MANUSIA
  72. Cempedak sebagai Bahan Pangan Yang Multi Manfaat
  73. Fasilitas Hotel JW Marriott Jakarta
  74. Sejarah Singkat Hotel JW Marriott Jakarta, Struktur Organisasi Tata Graha di Hottel JW Marriott Jakarta
  75. Nama Alat Dan Obat Pembersih Serta Kegunaannya Untuk Hotel, Rumah Sakit 
  76. Cara Pengukuran Status Gizi yang paling sering digunakan adalah antropometri gizi
  77. Pengertian Maksud Tujuan dan Metode Penelitian | Jenis-Jenis Penelitian | Historis, Survey, Ex Post Factor, Eksperimen, Evaluasi, Pengembangan, Tindakan
  78. Penelitian Menurut Tempat, Lapangan, Kepustakaan, Laboratorium, Keilmiahan, Penelitian Pertanian, Penelitian Ekonomi, Fokus penelitian
  79. Fasilitas Yang Tersedia di Hotel Harris Untuk Meningkatkan Kepuasan Konsumennya
  80. Tugas dan Tanggung Jawab Tata Graha Departemen, Seksi-Seksi Pada Bagian Tata Graha, Seksi Linen dan pakaian seragam kerja (Linen dan Uniform section)
  81. Analisis SWOT, Strategi SO (Strenght and Opportunity), Strategi WO (Weakness and Opportunity), Strategi ST (Strength and Threat), Strategi WT (Weakness and Threat)
  82. Marketing Management, Marketing Mix, Distribution Channel, Segmented Marketing, Consumer Behaviour, Consumer Satisfaction, Customer Loyalty
  83. Pengertian Prosedur, Vendor, Piutang Usaha, Utang Usaha, Jenis-jenis Hutang, Pengendalian Internal Hutang Usaha, Tujuan Pemeriksaan Atas Hutang Usaha
  84. Gambaran Umum Perusahaan Kimia Farma, Arti Logo Kimia Farma, Struktur Organisasi PT Kimia Farma (Persero) Tbk.
  85. Bisnis Utama Perusahaan dan Perkembangan Permintaan Konsumen
  86. Kerangka Konsep, Tradisi Penelitian, Perilaku, Landasan Teori, Komunikasi Massa, Komunikasi Konvensional, Intensitas Iklan, Brand Awareness
  87. Prosedur Pembuatan Film After Marriage
  88. Pengaruh Intensitas Iklan Netflix di Youtube, Harga dan Brand Awareness Terhadap Keputusan Berlangganan di Kota Jakarta
  89. Destinasi Wisata Kota Ternate Maluku Utara
  90. Strategi Pemasaran Sosial Pada Program CSR Vaksin Covid-19
  91. Strategi Pencapaian, Pembuatan Aplikasi Pembangunan Kawasan Pedesaan
  92. Green Banking Penunjang Pembangunan berkelanjutan yang berkaitan dengan lingkungan hidup bertujuan untuk Kelangsungan Perekonomian