Uni Eropa dan Kebijakan Perfilman, Implementasi Kebijakan Perfilman Uni Eropa: Pembiayaan, Manajemen dan Regulasi

Uni Eropa dan Kebijakan Perfilman, Implementasi Kebijakan Perfilman Uni Eropa: Pembiayaan, Manajemen dan Regulasi


BAB I PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah


Uni Eropa adalah sebuah proyek politik. Namun, saat ini tak bisa dipungkiri, Uni Eropa jauh lebih sukses sebagai sebuah proyek penyatuan ekonomi. Di antara wilayah politik maupun ekonomi itu ada kebudayaan, yang secara sederhana bisa dikatakan merupakan irisan di antara keduanya.
Dibandingkan sektor ekonomi, kebudayaan memiliki dimensi yang lebih. Kebudayaan, selain turut menciptakan kesejahteraan, juga berkontribusi pada kohesi sosial, peningkatan kualitas manusia, kepereayaan diri dan juga bisa membangkitkan perasaan sebagai bagian dari sebuah komunitas yang memiliki sejarah panjang. Kebudayaan juga menjadi alat yang sangat kuat untuk mengkomunikasikan nilai-nilai, dan memandu arah kepentingan publik. Di sisi ini, kebudayaan lebih dari sekadar penciptaan kemakmuran.
Di luar ekonomi, kebudayaan kerap dilihat dari sudut pandang rennaisance. Dengan pendekatan “seni untuk seni” produk-produk kesenian dipandang menjadi sangat penting karena ia memperkaya penikmatnya, memberi mereka kepuasan karena telah mampu memahami “keindahan”. Karya seni juga meluaskan wawasan dan memberi pencerahan pada publik akan kompleksitas kemanusiaan.

Pendeknya, kebudayaan diyakini menjalankan fungsi sosial politik yang berlapis. Di Eropa pandangan inilah yang mendasari munculnya cultural policies, atau kebijakan-kebijakan kultural yang belakangan makin terasa penting dalam dunia global yang makin multikultur ini.
Bagi Eropa, kebudayaan memang sejak lama dipandang sebagai duta dan kendaraan bagi “nilai-nilai Eropa” seperti toleransi, demokrasi, keragaman dan pluralisme. Sejak Sophocles, Brecht hingga Beckett misalnya, teater di Eropa selalu dihubungkan dengan demokrasi, sebagai platform bagi kebebasan berekspresi.
Karikatur-karikatur Goya dan lukisan Guernica karya Picasso menjadi penanda generasional bagi banyak warga Eropa karena kuatnya pesan sosial politik dalam karya-karya itu. Sementara sutradara-sutradara film masa kini Eropa seperti Pedro Almodovar, Lars von Trier, atau Aki Kaurismaki juga turut memainkan peran serupa bagi generasinya.

Bagi Eropa, seni memang dipandang tak kalah penting dengan pencapaian-pencapaian dalam sains. Dalam sebuah pidato berjudul “Europe: art or Science?” di Delft University of Technology, Januari 2006, Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso menggambarkan sikap Eropa ini.

“Apakah yang harus kita ciptakan? Europe of Art atau Europe of Science?” kata Barroso melontarkan pertanyaan. Barroso menjawab sendiri pertanyaannya, “Keduanya jelas sama penting. Dan sejak Renaissance, Eropa menonjol di dua hal ini”. Menurut Barroso, inovasi yang berkelanjutan dalam bidang seni dan sains telah membuat Eropa menikmati pembangunan pesat dan kemakmuran yang sulit ditanding. “Bagi Eropa, tak pemah ada pilihan, sains atau seni? Seni dan sains itu adalah dua kaki yang membuat Eropa bisa berdiri,” kata Barroso.
Pandangan Eropa yang begitu menghargai seni dan budaya ini, tentu harus menghadapi kenyataan pahit ketika dalam bidang sinema, karya-karya film Eropa harus mengakui dominasi produksi negeri lain di rumahnya sendiri.
Industri film Eropa harus diakui, memang mengalami kekalahan akibat kelemahan struktural yang ada pada industrinya. Tidak kompetitifnya perfilman Eropa dihadapan produksi Amerika (Hollywood) ini telah lama menjadi perhatian para pengambil keputusan di level Uni Eropa. Sejak awal 1980-an, bidang perfilman merupakan salah satu dari perhatian utama kerangka kebijakan Audio-Visual Policy Uni Eropa.

Konsep Uni Eropa dalam rancangan kebijakan ini, menempatkan bidang audiovisual ini sebagai sarana untuk menciptakan sebuah ruang identitas baru yang harus sejajar dengan ruang politik dan ekonomi yang diciptakan oleh penyatuan Eropa.

Audio-Visual Policy Uni Eropa ini sejak awal sudah mencakup kebijakan ‘positif seperti skema dukungan finansial melalui program Media Plus, atau inisiatif investasi i2i yang ditawarkan European Investment Bank, atau melalui kebijakan ‘negatif penetapan kuota film dan pengetatan bantuan negara bagi sektor film.

Namun, kebijakan dan posisi Uni Eropa dalam bidang perfilman ini memasuki babak baru, ketika akhimya secara terbuka Eropa berani “berperang” dengan Amerika Serikat.

Pada 1993, pada akhir dari pembicaraan Uruguay Round untuk GATT Uni Eropa memainkan kartu “cultural exception” sebagai upaya mempertahankan garis hidup “film Eropa”. Dipimpin Perancis, negara-negara anggota Uni Eropa kala itu berargumen bahwa media audiovisual harus dikeluarkan dari aturan-aturan World Trade Organization, karena merupakan produk budaya yang harus dilindung dan tak bisa diukur dengan bataan-batasan commerce.

Ketika itu, market share film-film Amerika di Eropa memang sangat besar, berada antara angka 60% sampai 90%. Untuk membendung dominasi Amerika di pasar film Eropa, masyarakat Eropa menetapkan beberapa aturan khusus untuk melindungi “film Eropa”. Salah satunya misalnya dengan menetapkan adanya “kuota kultural” dalam aturan (directive) televisi Uni Eropa.
Kuota kultural ini mewajibkan stasiun-stasiun televisi di Eropa mencadangkan sejumlah waktu airtime!screening time mereka untuk “karya Eropa”. Aturan ini jelas diminta untuk dihilangkan (oleh produsen konten televisi terbesar dunia, Amerika Serikat) berdasar aturan anti proteksi WTO. Tapi, Eropa menolak. Begitu kerasnya perlawanan Perancis dan negeri-negeri Eropa, beberapa penulis menyebut peristiwa ini sebagai “perlawanan formal pertama terhadap globalisasi.”

Uniknya, perlawanan sengit di tahun 1993 itu juga menjadi titik balik bagi kebangkitan kembali perfilman negeri-negeri Eropa. Sejak itu, perlahan tingkat produksi film dan market share bagi film Eropa di negeri masing-masing, terus meningkat. Setelah belakangan argumen '‘''cultural exception ’ ini dianggap tak memadai, Eropa mendasarkan peijuangan mereka (di bidang film) pada argumen baru.

Argumen yang belakangan dihidupkan adalah soal “cultural divercity” yang harus dilindungi. Berdasar aturan UNESCO mengenai cidtural diversity, film dipandang sebagai ekspresi budaya dan termasuk kekayaan cultural yang harus dilindungi. Dengan argumen bahwa globalisasi membahayakan cultural diversity, maka Uni Eropa memiliki hak untuk melindungi filmnya.
Posisi Uni Eropa makin penting (vis a vis negara nasional) ketika European internal market terbentuk. Karena film juga memiliki sifat ekonomis, maka sektor industri sinematografis ini juga dibatasi aturan yang bertujuan mengintegrasikan pasar Eropa. Namun, berbeda dengan sektor perdagangan lain yang relatif lebih mudah tunduk pada proses integrasi pasar, film sebagai medium kultural hampir mustahil dikekang dalam keseragaman.

Tegangan antara legislasi sincma di tingkat nasional yang berupaya merelleksikan nilai kultural setempat, dengan lilosoii pasar bebas yang mendasari proses integrasi pasar Eropa, adalah hal yang menarik untuk diamati. Dalam persoalan sinema, sepintas terasa adanya kontradiksi antara kepentingan nasional, yang berupaya melindungi pasar lokal, dengan upaya menciptakan pasar bersama Eropa untuk produk maupun jasa audiovisual.

Sementara ke luar, Uni Eropa juga harus “melindungi” pasar filmnya dari hegemoni Hollywood-Amerika. Di tengah persoalan ekonomi ini, Uni Eropa juga harus setia pada amanat pasal 151 Maastricht Treaty yang menyebut perlindungan bagi nilai-nilai kultural sebagai amanat “konstitusi”.
Kontradiksi antara logika ekonomi dari integrasi pasar, dan tujuan melindungi warisan budaya sangat tampak dalam kebijakan film Uni Eropa belakangan. Dua tujuan yang hampir mustahil didamaikan: promosi dan perlindungan keragaman budaya dan pembentukan pasar bersama, tercermin dalam kebijakan film Uni Eropa.
Maka, telaah terhadap kebijakan film Uni Eropa, selain bisa menunjukkan tegangan horisontal antara kebijakan Uni Eropa versus kebijakan negara nasional (Eropa) di sektor film, juga akan bisa menunjukkan tegangan vertikal power sharing di internal Uni Eropa.

1.2 Pertanyaan Penelitian (Permasalahan)

Pertanyaan umum (general research question) dari thesis ini adalah: Bagaimana policy film Uni Eropa terbentuk dan bagaimana policy itu mempengaruhi iklim perfilman dan upaya membentuk European Identity?

1.3 Tujuan Penelitian

Thesis atau penelitian ini akan mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan penelitian yang telah disebut di atas. Telaah dan indentifikasi terhadap berbagai hal yang melatarbelakangi dan membentuk kebijakan film Eropa, penting karena memberi pemahaman mengenai cara kerja integrasi Eropa di bidang yang b dan ekonomi. Pengaruh dan dampak dari kebijakan yang terbentuk juga penting diketahui, karena kebijakan perfilman yang diputuskan di tingkat Uni Eropa belum tentu sesuai, atau sejalan dengan kebijakan internal negara-negara anggotanya. Mengetahui reaksi dan penyesuaian di level negara-nasional akan memberi pengetahuan, sejauh mana kebijakan perfilman di level regional Uni Eropa membantu proses integrasi Eropa.

1.4. Hipotesis/Asumsi


Hipotesis utama dari penelitian ini adalah: bahwa Uni Eropa dan kebijakan yang dikeluarkan lembaga-lembaganya, terutama dalam hal perfilman, berperan penting mempengaruhi industri perfilman di negara-negara anggotanya, dan pengaruhnya n^t-secara khusus memperkuat integrasi Eropa.

1.5 Batasan (Ruang Lingkup Penelitian)


Untuk efektifitas pembahasan, negara yang ditelaah ketika membahas akibat kebijakan Uni Eropa terhadap negara nasional dibatasi hanya empat negara perfilman penting Eropa: Inggris, Italia, Jerman dan Perancis. Mengapa empat negara ini?

Dalam sejarah perfilman, keempat negara ini sudah menjadi negara penting. Secara kultural, empat negara ini memberi sumbangan-sumbangan penting dalam perkembangan sinema dunia. Sinema Inggris, yang lahir sejak 1895, memang tak pemah menjadi pusat sinema dunia. Tetapi, tak diragukan lagi, sinema Inggris sangat berpengaruh. Dari sinema Inggris inilah lahir struktur awal film sebagai industri. Kelahiran sinema realism sosial juga merupakan sumbangan dari perfilman Inggris. Sementara itu, Jerman memberi sumbangan kepada dunia dengan sinema expressionismnya, Italia dengan sinema Neo-Realisme, dan Perancis dengan sinema nouvelle vague-nya.
Keempat negara ini juga masih terus berpengaruh, dan menjadi garda depan ‘perlawanan’ bagi hegemoni sinema Hollywood. Festival-festival film di keempat negara ini, menjadi panggung dan jaringan pemasaran altematif bagi sinema non-Hollywood. Festival Film Cannes di Perancis, Festival Film Berlin di Jerman, Festival Film Venesia di Italia dan Festival Film London di Inggris, masih terus menjadi rujukan utama bagi pemerhati dan pekerja film dari seluruh dunia.

Keempat negara ini juga merupakan negara-negara dengan tradisi industri perfilman yang kuat. Tapi, keempatnya juga mengalami pukulan kekalahan yang hebat, karena dominasi film-film Hollywood di pasar domestik mereka. Keempat negara ini, masing-masing tentu telah memiliki strategi dan pilihan kebijakan tersendiri. Tentu keempatnya akan memberi reaksi berbeda yang khas ketika kebijakan nasional ini berhadapan langsung dengan kebijakan perfilman regional Uni Eropa.

Adapun kurun waktu dari penelitian ini dibatasi mulai dari 1988, ketika kebijakan bersama perfilman Uni Eropa mulai dirancang, dan diakhiri pada tahun 2011, ketika krisis keuangan Eropa mulai memperlambat pertumbuhan ekonomi Uni Eropa.

1.6 Metodologi Penelitian dan Teori

Sebagai sebuah kategori kritis, European Cinema, atau Sinema Eropa sudah lama menjadi obyek studi. Tak terhitung banyaknya buku sejarah, yang menjadikan sinema eropa sebagai pusat, atau bagian kajian. Sementara tradisi riset dan telaah mengenai sinema eropa, juga telah menghasilkan majalah maupun jumal ilmiah, yang termasuk pelopor di bidang kajian perfilman.

Jumal bulanan Cahiers du Cinema, yang terbit perdana pada bulan April 1951, misalnya merupakan salah satu jumal, yang focus bahasannya adalah sinema eropa. Cahiers kemudian dikenal sebagai salah satu jumal ierpenting dalam riset sinema. Selain Cahiers, di Perancis juga lahir majalah bulanan film Posit f yang juga penting. Sementara di Inggris ada jumal Sight & Sound, yang bahkan lebih tua dari Cahiers, karena terbit sejak 1932.

Studi lebih serius, berupa riset akademik yang kemudian ditulis menjadi buku juga tak kurang banyak. Sebagian berkonsentrasi pada sejarah masa lalu. Misalnya, bagaimana hubungan antara perkembangan masyarakat Eropa dengan perkembangan sinemanya, sebagaimana dicatat Pierre Sorlin dalam European Cinemas, European Societies, 1939-1990 (New York: Routledge, 1991). Atau sejarah seabad sinema Eropa mencari keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keyakinan akan fungsi kulturalnya dalam buku yang diedit Diana Holmes dan Alison Smith 100 Years of European Cinema: Entertainment or Ideology? (Manchester University Press, 2000). Atau analisis sejarah yang menghubungkan perkembangan sinema Eropa dengan pertumbuhan modemisme sebagaimana ditulis Andras Balint Kovacs dalam Screening Modernism: European Art Cinema, 1950-1980 (University of Chicago Press, 2007).
Studi-studi yang ingin membangun kanon pengetahuan untuk sinema Eropa juga tak kurang. Dalam kategori ini misalnya ada studi Ian Aitken European Film Theory and Cinema: A Critical Introduction (Edinburgh University Press, 2001); kumpulan studi yang diedit Maurizio De Benedictis Cineuropa: storia del cinema europeo (Roma: Lithos, 2009); studi Dimitris Eleftheriotis Popular Cinemas of Europe: Studies of Texts, Contexts, and Frameworks (New York: Continuum, 2001); atau buku penting Elizabeth Ezra European Cinema (Oxford: Oxford University Press, 2004).

Studi tentang orang-orang yang ada dibalik produksi sinema Eropa ini juga tak kurang. Misalnya ada studi sosiologis tentang para aktris pemeran penting film-film Eropa dalam studi Kerry Segrave dan Linda Martin The Continental A ctress: European Film Stars of the Postwar Era-Biographies, Criticism, Filmographies, Bibliographies (Jefferson, N.C: McFarland, 1990); atau studi tentang para penata kamera Making Pictures: A Century o f European Cinematography yang ditulis oleh Roger Sears (The Federation of European Cinematographers. New York: Abrams, 2003).

Juga sudah ada studi-studi yang menghubungkan sinema Eropa dengan isu-isu kultural terkini, seperti isu pelintas batas dalam karya Alejandra Barriales-Bouche dan Marjorie Attignol Salvodon Zoom in, Zoom Out: Crossing Borders in Contemporary European Cinema (Cambridge Scholars Publishing, 2007); dan karya John Hill, Martin McLoone, Paul Hainsworth Border Crossing: Film in Ireland, Britain and Europe (London: British Film Institute, 1994). Atau isu mengenai ruang dalam studi Wendy E. Everett dan Axel Goodbody Revisiting Space: Space and Place in European Cinema. Oxford: P. Lang, 2005); dan studi Myrto Konstantarakos Spaces in European Cinema. Exeter, England: Intellect, 2000).
Studi yang menghubungkan sinema Eropa dengan perubahan lanskap sosial politik Uni Eropa juga telah banyak. Diantaranya studi Daniela Berghahn dan Claudia Sternberg European Cinema in Motion: Migrant and Diasporic Film in Contemporary Europe. Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2010; atau studi Miyase Christensen dan Nezih Erdogan Shifting Landscapes: Film and Media in European Context. Newcastle-upon-Tyne: Cambridge Scholars Pub., 2008); juga studi Yosefa Loshitzky Screening Strangers: Migration and Diaspora in Contemporary European Cinema. Bloomington: Indiana University Press, 2010. Begitu juga studi yang menghubungkan sinema Eropa dengan identitas baru Eropa. Studi semacam misalnya muncul pada buku Wendy Everett European Identity in Cinema. 2nd ed. Bristol, UK: Intellect, 2005.

Universitas In Studi-studi yang meletakkan sinema Eropa dalam peta persaingan dan keragaman sinema dunia juga muncul. Misalnya buku Thomas Elsaesser European Cinema: Face to Face with Hollywood. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2005; Karya Angus Finney The State of European Cinema: A New Dose of Reality. London: Cassell, 1996; karya Rosalind Galt The New European Cinema: Redrawing the Map. New York: Columbia University Press, 2006; atau karya Mike Wayne The Politics of Contemporary European Cinema: Histories, Borders, Diasporas. Bristol, UK: Intellect, 2002.

Tapi, belum terlihat muncul karya yang membicarakan soal kebijakan regional bagi film Eropa. Meski memang telah ada beberapa buku yang khusus membicarakan kebijakan nasional beberapa negara di Eropa. Kebijakan nasional yang dibicarakan dalam buku-buku itu, lebih banyak menelaah soal kebijakan film scbagai industri dengan bahasa ekonomi.
Fakta ini memberi isyarat masih dibutuhkan penelitian tersendiri, dengan obyek kebijakan sinema dan perfilman Eropa. Penelitian ini sebaiknya tak dibatasi oleh analisis ekonomi semata, serta tak dibatasi dengan batas-batas negara bangsa. Analisis dan penelitian tentang kebijakan perfilman dalam level Eropa, sambil menelaahnya juga dari sudut pandang negara nasional yang terkena kebijakan itu, diharap dapat memberi sumbangan baru dalam telaah tentang Eropa.


1.6.1 Teori


1.6.1.1 Teori Konstruktivisme

Teori konstruktivisme merupakan sebuah teori altematif dalam Hubungan Intemasional. Konstruktivisme disebut-sebut sebagai middle ground atau jembatan yang menghubungkan antara .pemikiran rasional dan pemikiran modem. Pemikiran rasional memisahkan antara manusia dan objek, sedangkan pemikiran modem lebih fokus terhadap refleksifitas. Teori konstruktivisme memiliki fokusnya tersendiri yakni konstmksi sosial yang ada dalam kehidupan yang digunakan sebagai kacamata dalam melihat sebuah fenomena khususnya dalam Hubungan intemasional.
Sebagai teori altematif yang ada dalam Hubungan Intemasional, konstmktivisme memiliki pandangannya tersendiri terhadap karakter sifat manusia. Jika realisme berpandangan bahwa manusia memiliki sifat yang agresif dan dalam liberalisme kooperatif, bagi konstruktivisme perilaku manusia merupakan hasil dari kebudavaan yang membentuk identitas yakni socially constructed. Kehidupan dunia bagi konstruktivisme ditentukan oleh konstruksi sosial yang sengaja dibentuk.

Terdapat tiga hal mencirikan pemikiran konstruktivisme. Pertama adalah struktur yang menentukan perilaku agen. Kedua adalah adanya kepentingan dasar perilaku aktor yang muncul dari identitas. Terakhir, yang ketiga, adalah adanya hubungan saling mempengaruhi antara agen dan struktur.

Melihat pada sejarah, konstruktivisme lahir pada akhir perang dingin tahun 1989. Pada saat itu bubarnya Pakta Warsawa memunculkan adanya identitas, budaya dan norma ke dalam politik intemasional. Identitas, budaya dan norma inilah yang memicu lahimya pemikiran konstruktivisme. Konstmktivisme menitik beratkan pada konstruksi sosiai yang membentuk sebuah sistem Intemasional.

Dua pemikir terkemuka dari konstmktivisme adalah Alexander Wendt dan Nicholas Onuf. Menumt Alexander Wendt, sistem intemasional yang ada bukanlah sesuatu yang given melainkan hasil dari konstruksi sosial. Wendt juga menentang posisi neorealisme yang mengatakan bahwa sistem anarki berdasar dari sistem self-help. Bagi konstruktivisme sistem anarki tergantung dari adanya interaksi antar aktor. Konstmktvisme juga mengkritik atau merespon kaum positivisme. Respon atau kritik tersebut berupa ontologi atau subtansi, epistemologi dan metodologi.

Tidak jauh berbeda dengan Alexander Wendt, Nicholas Onuf juga memberikan pandangan yang serupa mengenai konstmktivisme. Menurut Onuf konstruktivisme dibangun dari sebuah hubungan dan interaksi antara masyarkat dengan lingkungannya. Terdapat hubungan yang saling berkaitan dalam proses interaksi anatara aktor, agen dengan fenomena yang terjadi di kehidupan dunia. Bagi Onuf pengetahuan yang ada di dunia merupakan hasil dari konstruksi sosial.

Baik Wendt maupun Onuf keduanya menunjukan bahwa terdapat beberapa eiemen penting dalam konstruktivisme sosial yakni diantaranya dalah identitas, agen, struktur dan aksi. Semuanya saling berkaitan dalam pembentukan struktur sosial yang ada. Konstruktivisme juga menekankan bahwa adanya politik domestik sangat penting karena tidak dapat dipisahkan dan akan selalu terintergrasi dengan politik Intern asional.

Dalam hubungan dengan topik dari penelitian ini, Alexander Wendt yang sering disebut sebagai bapak teori konstruktivis menyatakan bahwa ada dua azas dasar dari konstruktivisme. Pertama, bahwa struktur dari human association ditentukan terutama oleh ide yang dimiliki bersama (shared ideas) dan bukanlah karena kekuatan/tekanan hal-hal material. Kedua, bahwa identitas dan kepentingan dari aktor-aktor yang berperan dikonstruksikan oleh ide bersama itu, dan bukan ditentukan oleh hal-hal yang alamiah.
Oleh banyak ahli, teori hubungan intemasional konstruktivis ini dinilai sebagai teori yang paling mampu menjelaskan apa yang terjadi di Eropa, khususnya apa yang terjadi di Uni Eropa. Menggunakan asumsi dasar Wendt, dan juga perkembangan mutakhir Teori konstruktivis, thesis ini akan melihat bagaimana kebijakan film Uni Eropa itu membawa shared ideas baru. Apakah shared ideas itu bermuara pada terbentuknya policy (dan juga institusi) bersama negara-negara Eropa di sektor film? Dan juga apakah kebijakan yang terbentuk kemudian juga memunculkan shared ideas di antara negara-negara yang terkena kebijakan itu?

1.6.1.2 Teori Globalisme

Selain teori konstruktivis Alexander Wendt, penelitian ini juga akan mencoba mendekati persoalan dengan teori Globalisme. Globalisme yang dimaksud dalam hal ini tidaklah sama dengan Globalisasi, sebuah istilah yang lebih popular. Apa itu globalisme? Lalu sebaliknya, apa globalisasi? Dan Bagaimana konsep ini membentuk dunia kita?

Joe Nye, mantan Dekan di Kennedy School of Government Harvard University, menguraikan perbedaan mendasar antara kedua konsep ini. Globalisme menggambarkan realitas yang saling berhubungan, sementara globalisasi menangkap kecepatan di mana koneksi ini kenaikan atau penurunan. Globalisme terhadap globalisasi? Banyak orang akan berpikir dua istilah merujuk pada fenomena yang sama. Namun, ada perbedaan penting antara keduanya.
Globalisme, pada intinya berusaha untuk menggambarkan dan menjelaskan tidak lebih dan sebuah dunia yang ditandai dengan jaringan koneksi yang mencakup jarak multi-benua. Ia mencoba untuk memahami semua inter-koneksi dari dunia modem dan untuk menyoroti pola yang mendasari dan menjelaskan hal-hal itu. Sebaliknya, globalisasi mengacu pada kenaikan atau penurunan tingkat globalisme. Ini berfokus pada kekuatan, dinamisme atau kecepatan perubahan ini.

Untuk beberapa orang globalisasi juga dapat merujuk kepada integrasi sistem ekonomi, politik, dan budaya di seluruh dunia. Untuk orang yang lain itu bisa berarti dominasi negara-negara maju dalam pengambilan keputusan, dengan mengorbankan miskin, negara-negara kurang kuat.

Apakah globalisasi kekuatan untuk pertumbuhan ekonomi, kemakmuran, dan kebebasan demokratis? Atau apakah itu berlaku untuk kerusakan lingkungan, eksploitasi negara berkembang, dan penindasan hak asasi manusia? Apakah globalisasi hanya menguntungkan orang kaya atau orang miskin dapat mengambil keuntungan dari itu untuk meningkatkan kesejahteraan mereka?

Singkatnya, anggaplah globalisme sebagai jaringan dasar yang mendasari, sementara globalisasi mengacu pada menyusutnya dinamika jarak dalam skala besar.

Globalisme adalah fenomena dengan akar yang kuno. Dengan demikian, masalah ini bukan bagaimana globalisme tua, melainkan bagaimana "tipis" atau "tebal" itu pada waktu tertentu. Globalisme dapat memiliki minimal dua makna yang berbeda dan berlawanan. Salah satu makna adalah sikap atau kebijakan menempatkan kepentingan seluruh dunia atas orang-orang dari negara masing-masing. Makna lain adalah melihat seluruh dunia sebagai suatu bidang yang tepat untuk satu bangsa bagi proyek pengaruh politik.

Ilmuwan politik Amerika, Joseph Nye, pakar teori hubungan intemasional dari neoliberalisme, berpendapat bahwa globalisasi mengacu pada deskripsi dan penjelasan tentang dunia yang ditandai dengan jaringan koneksi yang mencakup jarak multi-benua; sementara globalisasi mengacu pada kenaikan atau penurunan tingkat globalisme.

Dalam bukunya 2005 The Collapse of Globalism and Reinvention of the World, filsuf Kanada John Ralston Saul berpendapat bahwa jauh dari kekuatan yang tak terelakkan, globalisasi sudah putus menjadi potongan-potongan kontradiktif dan bahwa warga negara yang menegaskan kembali kepentingan nasional mereka baik positif maupun eara destruktif.

Titik umum adalah bahwa meningkatnya intensitas, atau ketebalan, globalisme, kepadatan jaringan saling ketergantungan, bukan hanya perbedaan deraj at dari masa lalu. Peningkatan "ketebalan” perubahan hubungan, karena itu berarti bahwa hubungan yang berbeda saling ketergantungan berpotongan lebih dalam pada poin lebih berbeda.

Pada saat yang sama, penting untuk dicatat bahwa globalisasi tidak berarti universalitas. Betapapun, koneksi yang membentuk jaringan untuk mendefinisikan globalisme mungkin lebih kuat dirasakan di beberapa bagian dunia dari pada orang lain. Sebagai contoh, pada pergantian abad ke-21, seperempat dari penduduk Amerika Serikat menggunakan World Wide Web. Pada saat yang sama, hanya seperseratus dari satu persen dari penduduk Asia Selatan memiliki akses ke jaringan informasi ini.
Karena globalisme tidak berarti universalitas dan mengingat bahwa globalisasi mengacu pada perubahan yang dinamis, tidak mengherankan bahwa globalisasi tidaklah berarti persamaan - atau homogenisasi. Bahkan, ini adalah kemungkinan untuk memperkuat perbedaan - atau setidaknya membuat orang lebih sadar dari mereka.

Empat dimensi globalisasi

Ada empat dimensi yang berbeda dari globalisasi: ekonomi, militer, lingkungan - dan sosial. Globalisme ekonomi melibatkan arus jarak jauh dari barang, jasa dan modal dan informasi dan persepsi yang menyertai pertukaran pasar. Arus ini, pada gilirannya, mengatur proses lain yang terhubung ke mereka. Salah satu contoh dari globalisasi ekonomi adalah produksi upah rendah di Asia untuk Amerika Serikat dan pasar Eropa. Aliran dana ekonomi, pasar dan organisasi - seperti dalam perusahaan multinasional - semua pergi bersama-sama.

Globalisme lingkungan mengacu pada transportasi jarak jauh dari bahan di atmosfer atau samudra atau bahan biologis seperti patogen atau bahan genetik yang mempengaruhi kesehatan manusia dan kesejahteraan. Contoh globalisasi lingkungan termasuk menipisnya mempercepat lapisan ozon stratosfir akibat bahan kimia perusak ozon - atau penyebaran virus AIDS dari Afrika Tengah di seluruh dunia dimulai pada akhir tahun 1970-an.

Dimensi berikutnya adalah dimensi militer. Apa yang membuat saling ketergantungan ini khas tidaklah karena itu benar-benar baru, tetapi skala dan kecepatan potensi konflik yang timbul dari saling ketergantungan yang begitu besar. Globalisasi militer terwujud beberapa kali dalam peristiwa tragis 11 September. Di sini, jarak geografis yang menyusut dari pegunungan tanpa hukum Afghanistan memberikan loncatan untuk serangan terhadap New York dan Washington yang berjarak sekitar 4.000 mil jauhnya.

Dimensi keempat adalah globalisasi sosial dan budaya. Ini melibatkan gerakan ide, informasi, gambar, dan orang-orang, yang tentu saja membawa ide-ide dan informasi. Contohnya termasuk gerakan agama atau difusi pengetahuan ilmiah. Di masa lalu, globalisasi sosial telah sering diikuti globalisme militer dan ekonomi. Namun, di era saat ini, globalisasi sosial dan budaya didorong oleh Internet, yang mengurangi biaya dan globalizes komunikasi, membuat aliran ide-ide semakin inandiri bentuk lain dari globalisasi.

Jadi Globalisme, menurut Joseph Nye, berbeda dengan Globalisasi. Globalisme, adalah teori yang mencoba memahami interkoneksi yang terjadi di dunia modem.

Globalisme percaya bahwa dunia terdiri dari jaringan terhubung karena kepentingan yang sama. Bersama dengan telaahan terhadap teori globalism ini, kebijakan film Uni Eropa akan dilihat sebagai buah dari interkoneksi ide itu.

1.6.2 Metode Penelitian


Penelitian dilakukan terutama dengan meneliti literatur, dokumen mengenai kebijakan film Uni Eropa..

1.6.3 Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data akan dilakukan lewat buku, manuskrip, makalah, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang mungkin diakses oleh peneliti. Data-data dari tangan pertama, lembaga Uni Eropa, lembaga pemerintah, serta peneliti yang telah melakukan penelitian terhadap subyek yang sama akan menjadi bahan utama dalam penelitian ini.
Namun, bahan-bahan sekunder, juga materi dari internet, akan juga menjadi pelengkap data sepanjang telah diverifikasi dan diuji kesahihannya.

1.7 Sistematika Penulisan:

Penulisan thesis ini akan dimulai dengan pendefinisian mengenai film dan perfilman Eropa, juga mengenai batasan mengenai apa yang dimaksud dengan policy perfilman.

Kemudian akan dipaparkan sejarah terbentuknya kebijakan perfilman di Eropa dan di Uni Eropa. Bagian ini akan berisi permulaan pembentukan kebijakan perfilman ini, juga bagaimana kerjasama antar negara Eropa teijadi dalam proses pembentukan kebijakan ini.

Setelah itu akan dituliskan secara detail, kebijakan-kebijakan yang telah diambil dan diputuskan oleh Uni Eropa dalam bidang perfilman ini. Tak hanya detail kebijakan-kebijakan itu, setting yang menjadi latarbelakang dari munculnya kebijakan-kebijakan ini juga akan dimunculkan. Misalnya konflik dan perselisihan antara Eropa dan Amerika dalam soal film. Bagaimana Eropa berupaya lepas dari hegemoni film-film Amerika, sementara Amerika juga punya cara dan kiat agar tak kehilangan dominasinya.

Selain setting persaingan antara Amerika-Hollywood dengan film-film Eropa, tentu dicatatkan juga perdebatan antara pendekatan art dan pendekatan commerce yang mendasari kebijakan-kebijakan itu.

Diupayakan, seluruh kebijakan mengenai perfilman yang diputuskan di level Uni Eropa akan dituliskan. Masing-masing kebijakan itu, setelah dibedah latar belakang dan proses pembentukannya, juga akan dianalisis apakah kebijakan itu berhasil atau tidak dan mengapa.
Salah satunya adalah kebijakan MEDIA plus, tahun 2001-2005, yang belakangan dikembangkan menjadi program MEDIA Mundus. Program ini tercatat sangat membantu memperkuat daya saing film-film Eropa di panggung intemasional. Selain membantu produksi film di negara-negara anggotanya, program MEDIA Mundus rajin membawa karya-karya Eropa itu ke bagian dunia lain.

Hasil dari program ini tidak buruk. Tercatat 17 film dengan pendanaan total sekitar 3 Juta Euro dari program MEDIA Mundus berhasil lolos seleksi untuk diputar di Cannes tahun 2010. Bahkan, dari duapuluh film yang lolos dalam seksi kompetisi — untuk memperebutkan penghargaan utama di Cannes — sepuluh diantaranya merupakan film penerima pendanaan Media Mundus.

Dalam soal penghargaan Intemasional, dukungan Uni Eropa, lewat program MEDIA (maupun MEDIA Mundus) yg diterapkan Komisi Eropa, juga berbuah luarbiasa. MEDIA, program yang dalam periode 2007-2013 memiliki dana 755 juta Euro memang berhak berbangga. Film-film yang masuk dalam daftar sokongan MEDIA, tercatat berhasil merebut 16 penghargaan Academy Award (Oscar) dalam empat tahun terakhir.

Film-film terkemuka semacam La Vie en Rose, Das Leberi cler Anderen, Die Falscher, Gomorra, Slumdog Millionaire, tak akan meninggalkan negeri pembuatnya jika saja tak ada bantuan dana dari Uni Eropa. Sembilan dari sepuluh film Eropa yang diputar di luar Eropa tercatat menerima dana dari program MEDIA ini.

Klaim-klaim keberhasilan, buah dari kebijakan film Uni Eropa memang terus bermunculan. Survey yang diumumkan tepat sebelum Festival Film Cannes ke 62 tahun ini dibuka pada bulan Mei misalnya, menunjukkan bahwa Uni Eropa mencatat rekor baru dalam jumlah produksi film. Tercatat 1.145 film panjang — termasuk dokumenter — diproduksi di negara Uni Eropa sepanjang 2008. Jumlah ini lebih banyak 112 film (10,8%) dibanding produksi setahun sebelumnya.

Perlahan, tingkat produksi film di negara Uni Eropa memang terus meningkat. Jika dirata-ratakan, sejak 2004, angka produksi film di negara Uni Eropa meningkat sekitar 8,1% setiap tahun. Dalam hal market share, 1.145 film itu berhasil menguasai 28,4% penjualan tiket masuk di seluruh sinema di negara Uni Eropa (pada 2007 tercatat 924 juta tiket terjual). Penjualan tiket ini meningkat 0,5% dibanding tahun sebelumnya.
Popularitas film-film nasional di negara masing-masing, memang terus meningkat. Perancis adalah yang paling unggul, dengan penguasaan 45,4% dari pasar lokal. Hal inilah yang menyumbang kenaikan total prosentase penjualan tiket film Eropa. Boleh jadi,- karena itulah, sepekan sebelum Cannes dibuka, Uni Eropa mengumumkan tambahan paket pendanaan senilai 15 juta Euro untuk meningkatkan daya saing industri audiovisual Eropa dan meningkatkan kerjasama dengan negara-negara ketiga.

Namun, apakah benar sukses itu bisa disandarkan pada kebijakan film Uni Eropa? Apakah ini berarti kebijakan film negara-negara nasional makin kurang pen ting? Penelitian terhadap angka-angka sukses ini secara mendetail, termasuk bagaimana aspek-aspek industri film di Eropa memperbaiki diri, akan melengkapi thesis ini.

Apakah sukses internal film Eropa ini merupakan isyarat bahwa sebuah identitas Eropa tengah terbentuk secara kuat? Inikah yang bisa menjelaskan mengapa film yang digarap sebagai joint production dua atau lebih negara Uni Eropa, tercatat diputar di lebih banyak negara, dan lebih sukses di box-office Eropa dibanding film yang diproduksi hanya oleh satu negara saja.

Setelah temuan-temuan data mengenai sukses internal film Eropa, penulisan juga akan berlanjut ke pelebaran pasar film Eropa di luar benua. Kebijakan-kebijakan mengenai distribusi ini tentu juga harus didedah. Termasuk apakah festival-festival film terkemuka Eropa: Cannes di Perancis, Berlin di Jerman, dan Venesia di Italia berubah peran, dan makin membawa kepentingan Eropa di akhir-akhir ini?

Artinya, penting untuk diketahui apakah Festival seperti Cannes, Berlin dan Venesia menjadi perpanjangan kepentingan Eropa terutama dalam mempengaruhi para pembeli dari luar Eropa yang berkumpul di festival-festival itu? Ingat teori Globalisme dan Penetrasi Pasar di luar Eropa. Persoalan yang juga hams ditulis adalah mengenai identitas Eropa. Apakah ada disseminasi terhadap identitas ini?

Tak hanya sisi politik dan kebijakan, aspek commerce juga akan dibahas mendalam. Aspek commerce ini antara lain bisa diukur dengan dengan melihat trend. Misalnya dengan melihat trend pasar film Eropa di beberapa festival penting Eropa. Melalui pengamatan statistik, kita bisa mencoba melihat kecenderungan yang terjadi dan melihat hubungannya denngan Kebijakan Film Uni Eropa.

Yang juga akan dijelaskan terinci, adalah “reaksi” negara nasional terhadap kebijakan-kebijakan perfilman yang diambil di level Eropa itu. Negara yang dijadikan studi kasus adalah: Ingris, Italia, Jennan dan Perancis. Pertimbangannya, selain keempatnya merupakan negara-negara penting Uni Eropa, keempat negara itu juga merupakan tulang punggung kultur film di Eropa.

Apakah ada tegangan antara kepentingan nasional negara-negara itu dengan kebijakan yang diambil di level Eropa? Apakah industri film di negara-negara tersebut terbantu dengan cara yang sama? Ataukah tidak? Akan ditelaah, bagaimana film policy masing-masing negara itu berhadapan vis a vis dengan kebijakan perfilman Uni Eropa. Yang dimaksud dengan fidm policy di sini tentu bukan sekadar kebijakan mengenai skema pendanaan film, tapi juga insentif fiskal, perlindungan Intelectuall property rights, promosi film international co-production, regulasi distribusi dan eksebisi film, serta kebijakan penyelenggaraan dan dukungan bagi vestifal film.
Dengan melihat studi kasus di setidaknya bisa diambil kesimpulan apakah dalam ranah kebijakan perfilman ini terjadi integrasi Eropa yang lebih dalam, ataukah sebaliknya. atankah ssbaSkny
Berdasar garis besar hal-hal yang akan ditulis, penelitian/thesis ini bisa disusun dengan pembabakan sebagai berikut :

Bab 1. Pendahuluan

Bab ini akan berisi bagian-bagian yang menjelaskan, mengapa penelitian dipilih dan dilakukan. Akan dibagi menjadi bebarapa bagian seperti Latar Bel akang Masalah, Tujuan dan Metodologi Penulisan.

Bab II. Uni Eropa dan Kebijakan Perfilman

Pada bagian ini akan dipaparkan sejarah lahirnya kebijakan perfilman Uni Eropa. Di dalamnya akan didedahkan permulaan, pembentukan dan kerjasama dalam lingkup kebijakan perfilman, Uni Eropa. Pada bagian ini pula dijelaskan hubungan antara kebijakan perfiman ini dengan pembiearaan Organnisasi Perdagangan Dunia, atau WTO.

Bab III. Implementasi Kebijakan Perfilman Uni Eropa: Pembiayaan, Manajemen dan Regulasi

Pada bib ini akan diuraikan secara mendetail mengenai berbagai kebijakan perfilman di Uni Eropa. Seperti, apa saja pembiayaan perfilman yang diberikan untuk perfilman. Bagaimana subsidi dan intervensi negara diatur oleh kebijakan perfilman tlni Eropa. Juga bagaimana implementasi kebijakan perfilman Uni Eropa itu di bidang Produksi, Distribusi, Eksebisi, dan pelestarian warisan masa lalu di bidang perfilman -negara nasional dalam berhadapan dengan kebijakan perfllman Uni-Eropa. Berturut-turut akan dipaparkan, ditelaah dan dianalisis kasus Perancis, Jerman, Italia dan Inggris.

Daftar Isi
  1. Pedoman Penulisan, Tugas Akhir, Program Diploma Tiga, AMIK BSI
  2. Pedoman Penulisan, Pedoman Teknis, Tugas Akhir, Mahasiswa Universitas Indonesia
  3. PEDOMAN PENULISAN KARYA ILMIAH UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
  4. Contoh Skripsi Hukum Konsep Green Banking
  5. Pelaksanaan Pemberian Santunan, Korban Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, PT. Jasa Raharja, Kantor Pelayananan Cabang Banten
  6. Sejarah Berdirinya PT. Jasa Raharja (Persero)
  7. METODE PENELITIAN
  8. HASIL ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI
  9. Kesimpulan
  10. PENGARUH ELECTRONIC WORD OF MOUTH TERHADAP PURCHASE INTENTION MELALUI VARIABEL MEDIASI BRAND IMAGE PADA STUDI KASUS SMARTPHONE ASUS (ZENFONE)
  11. Analisis Harmoni dan Interpretasi Lagu "Corat-Coret" Karya Mochtar Embut
  12. Penataan dan penguatan organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
  13. Pengertian Global Positioning System (GPS) atau Navstar
  14. Ilmu Pengetahuan dan Penelitian
  15. Cara-Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan Sehingga Mendapat Sebuah Kesimpulan
  16. Cara Ilmiah dalam Memperoleh Pengetahuan
  17. Kriteria Metode Ilmiah
  18. The Value-Added of Development Communication “Kampanye KB Oleh BPMPKB Provinsi DKI Jakarta”
  19. Skripsi Hukum Pidana Bab I Pendahuluan
  20. Skripsi Musik, Bentuk Musik, Fokus Permasalahan, Rumusan Masalah, Manfaat Penelitian, Pengertian Analisa Musik, Unsur-unsur musik, Harmoni, Tempo
  21. Pengelolaan Website, Internet dan Dunia Kerja, Aplikasi Website dalam Public Relations, Keuntungan Aplikasi Website, Internet Sebagai Media Publisitas, Mengelola Website, Efektivitas Website
  22. Apa Mitos Di Balik Pembuatan Skripsi
  23. Skripsi Tentang Kepemimpinan Perempuan Bab I
  24. Karya Tulis Tentang Imuninasi, Sistem Imun Dalam Tubuh Manusia, Antigen, Antibodi, Imunisasi dan Vaksinasi, Vaksin Campak
  25. Motivasi, Pengabdian pada Profesi, Kewajiban Sosial, Kemandirian, Hubungan Sesama Profesi, Keyakinan pada Profesi, Kualitas auditor 
  26. Telaah Pustaka Pengaruh Faktor-Faktor Akuntabilitas Auditor dan Profesionalisme
  27. Analisis Eksternal, Analisis Internal, Bisnis Model Kanvas, SWOT, TOWS Matrix, Manajemen Strategi, Aspek Operasional, Aspek Pemasaran, Aspek Sumber Daya Manusia
  28. Metodologi Penelitian, Jenis Penelitian, Objek Penelitian
  29. Profil Bisnis, Gambaran Umum Perusahaan, Visi, Misi, Logo Perusahaan, Makna Logo Perusahaan
  30. Analisis Lingkungan Bisnis, Analisis Pestel, Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Analisis 5 Forces Porter
  31. Implementasi Strategi, Membuat Perencanaan Strategis, Melakukan Pembenahan Internal, Mengembangkan media promosi
  32. Kesimpulan dan Saran, analisis internal dan eksternal
  33. Contoh Daftar Isi Skripsi
  34. Skripsi Public Relations dengan Judul Pentingnya Public Relations Untuk Pengembangan Bisnis
  35. Skripsi Virtual Private (VTN), Analisis Jaringan Virtual Private Network Point To Point Protokol
  36. Konsumsi Nasional Menuju Proses Penggelembungan (Bubble) yang Mengkhawatirkan
  37. Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian
  38. Pengaruh Etika Kerja, Komitmen Organisasi, Kinerja Pegawai, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah
  39. Pedoman Penulisan, Pembimbingan dan Ujian Skripsi Pelita Bangsa
  40. Latar Belakang, India Melirik Kearah Timur, Orientasi Hubungan Antar Negara Kawasan Asia, Look East Policy (LEP)
  41. Contoh Tesis, Rumusan Masalah, Signifikansi Penelitian, kerjasama Mekong, Ganga Cooperation Initiative
  42. Era Kolonial Inggris, Pasca Kemerdekaan, Pasca Perang Dingin
  43. Penggunaan Media Inovasi Intraoral Camera, Teknologi Kedokteran Gigi, Tinjauannya Berdasarkan Perpektif Islam
  44. Uni Eropa dan Kebijakan Perfilman, Implementasi Kebijakan Perfilman Uni Eropa: Pembiayaan, Manajemen dan Regulasi
  45. Lahirnya Kebijakan Perfilman Eropa, Perdagangan Global, WTO dan Perfilman Eropa, Perkembangan Terkini Kebijakan Perfilman Eropa
  46. Pembiayaan untuk Perfilman, Bantuan Film Referensi, Bantuan Film Panjang, Bantuan Film Panjang, TV Broadcast Restrictions
  47. PERSAINGAN, KERJASAMA DAN REARSI NEGARA DALAM LINGKUP KEBIJAKAN PERFILMAN EROPA
  48. Kebijakan Film Uni Eropa berkembang antara kreativitas dan pasar, inheren terjepit antara seni dan perdagangan.
  49. Daftar Bacaan, Kebijakan Film Uni Eropa berkembang antara kreativitas dan pasar
  50. Pemicu Munculnya Reformasi Tahun 1998 
  51. Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, Waktu dan Tempat Penelitian, Jenis Penelitian, Teknik Pengumpulan Data
  52. Landasan Teori, Teori Partai Politik
  53. Teori Partisipasi Politik
  54. Sejarah Ringkas Kelahiran PDI Perjuangan
  55. Kondisi politik PDI di bawah kekuasaan Orde Baru
  56. Visi dan Misi PDI Perjuangan
  57. Pengertian Public Area Section, Tugas dan Tanggung Jawab Public Area Attendant
  58. Persiapan Kerja Seorang Public Area, Standar penampilan, Standar perilaku dasar, Sikap Dasar, Syarat Khusus
  59. Analisis Literatur, Sejarah Asuransi di Dunia, Sejarah Asuransi di Indonesia, Tinjauan Umum Asuransi, Pengertian Asuransi, Jenis-Jenis Asuransi
  60. Pengaruh Leverage, Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, dan Price Earning Ratio Terhadap Nilai Perusahaan
  61. Kopi adalah salah satu minuman yang disukai dan banyak dikonsumsi di dunia
  62. Pengertian Kepailitan | Subjec dan Objek Kepailitan | Pihak Pemohon Pailit | Debitor pailit | Persyaratan Debitor dinyatakan Pailit | Perdamaian dalam PKPU
  63. Persyaratan Profesional Auditor | Tanggung Jawab Terhadap Profesi | Definisi Indepedensi Akuntan Publik
  64. Consumer Behaviour | Consumer Attitude | Analisis Perilaku Konsumen Dalam Pembelian Komputer Merek Acer
  65. Teknologi Internet Mempengaruhi Perkembangan Ekonomi | Pengaruh Orientasi Belanja Online | Pencarian Informasi Online
  66. Bahan PKL untuk Materi Perhotelan
  67. Skripsi Tentang Pangan, Tata Boga, Pengembangan Bisnis
  68. Protein, Masalah pada Protein Hewani, Berapa Banyak Protein, Keuntungan Protein Nabati, Komplementasi Protein
  69. Mutu Keberhasilan, Indikator Kebersihan Restroom, Definisi Kajian Hotel, Departemen-Departemen Yang Ada di Hotel
  70. Industri pariwisata di Indonesia sudah berkembang cukup pesat
  71. PENGARUH PENGAWET ALAMI DAN BUATAN PADA JAGUNG TERHADAP KESEHATAN TUBUH MANUSIA
  72. Cempedak sebagai Bahan Pangan Yang Multi Manfaat
  73. Fasilitas Hotel JW Marriott Jakarta
  74. Sejarah Singkat Hotel JW Marriott Jakarta, Struktur Organisasi Tata Graha di Hottel JW Marriott Jakarta
  75. Nama Alat Dan Obat Pembersih Serta Kegunaannya Untuk Hotel, Rumah Sakit 
  76. Cara Pengukuran Status Gizi yang paling sering digunakan adalah antropometri gizi
  77. Pengertian Maksud Tujuan dan Metode Penelitian | Jenis-Jenis Penelitian | Historis, Survey, Ex Post Factor, Eksperimen, Evaluasi, Pengembangan, Tindakan
  78. Penelitian Menurut Tempat, Lapangan, Kepustakaan, Laboratorium, Keilmiahan, Penelitian Pertanian, Penelitian Ekonomi, Fokus penelitian
  79. Fasilitas Yang Tersedia di Hotel Harris Untuk Meningkatkan Kepuasan Konsumennya
  80. Tugas dan Tanggung Jawab Tata Graha Departemen, Seksi-Seksi Pada Bagian Tata Graha, Seksi Linen dan pakaian seragam kerja (Linen dan Uniform section)
  81. Analisis SWOT, Strategi SO (Strenght and Opportunity), Strategi WO (Weakness and Opportunity), Strategi ST (Strength and Threat), Strategi WT (Weakness and Threat)
  82. Marketing Management, Marketing Mix, Distribution Channel, Segmented Marketing, Consumer Behaviour, Consumer Satisfaction, Customer Loyalty
  83. Pengertian Prosedur, Vendor, Piutang Usaha, Utang Usaha, Jenis-jenis Hutang, Pengendalian Internal Hutang Usaha, Tujuan Pemeriksaan Atas Hutang Usaha
  84. Gambaran Umum Perusahaan Kimia Farma, Arti Logo Kimia Farma, Struktur Organisasi PT Kimia Farma (Persero) Tbk.
  85. Bisnis Utama Perusahaan dan Perkembangan Permintaan Konsumen
  86. Kerangka Konsep, Tradisi Penelitian, Perilaku, Landasan Teori, Komunikasi Massa, Komunikasi Konvensional, Intensitas Iklan, Brand Awareness
  87. Prosedur Pembuatan Film After Marriage
  88. Pengaruh Intensitas Iklan Netflix di Youtube, Harga dan Brand Awareness Terhadap Keputusan Berlangganan di Kota Jakarta
  89. Destinasi Wisata Kota Ternate Maluku Utara
  90. Strategi Pemasaran Sosial Pada Program CSR Vaksin Covid-19
  91. Strategi Pencapaian, Pembuatan Aplikasi Pembangunan Kawasan Pedesaan
  92. Green Banking Penunjang Pembangunan berkelanjutan yang berkaitan dengan lingkungan hidup bertujuan untuk Kelangsungan Perekonomian