SEJARAH RINGKAS KEIAHIRAN PDI PERJUANGAN
Kelahiran PDI dan Reatitas Konflik Internal
Sejarah berdirinya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang berdiri pada tanggal 10 Januari 1973.
Secara historis, PDI merupakan hasil penggabungan atau fusi dari lima partai politik, yaitu:
(1) Partai Nasional Indonesia/PNI,
(2) Partai Murba,
(3) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia/IPKI,
(4) Partai Kristen Indonesia/Parkindo, dan
(5) Partai Khatolik. Pengelompokan kelima partai yang ini didasarkan pada dua basis ideologi yang berbeda, yakni basis ideologi nasionalis (PNI, Murba, dan IPKI) dan basis ideologi agama (Parkindo dan Partai Khatolik). Perbedaan ideologis ini di kemudian hari melahirkan persoalan besar dalam tubuh PDI, berkaitan persoalan dengan identitas partai (antara nasionalis dan agama/Kristen), termasuk di dalamnya persoalan konflik kepentingan (vested interest) antar taksi yang tak kunjung selesai.
Secara historis, PDI merupakan hasil penggabungan atau fusi dari lima partai politik, yaitu:
(1) Partai Nasional Indonesia/PNI,
(2) Partai Murba,
(3) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia/IPKI,
(4) Partai Kristen Indonesia/Parkindo, dan
(5) Partai Khatolik. Pengelompokan kelima partai yang ini didasarkan pada dua basis ideologi yang berbeda, yakni basis ideologi nasionalis (PNI, Murba, dan IPKI) dan basis ideologi agama (Parkindo dan Partai Khatolik). Perbedaan ideologis ini di kemudian hari melahirkan persoalan besar dalam tubuh PDI, berkaitan persoalan dengan identitas partai (antara nasionalis dan agama/Kristen), termasuk di dalamnya persoalan konflik kepentingan (vested interest) antar taksi yang tak kunjung selesai.
Berakhirnya kekuasaan Orde Lama yang ditandai dengan lahirnya “Surat Perintah 11 Maret” (Supersemar) pada tahun 1966, telah membawa tuntutan baru pada sebagian besar masyarakat Indonesia agar pemerintah baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto segera melaksanakan Pemilu. Kehidupan politik Indonesia setelah sekian lama berada di bawah sistem Demokrasi Terpimpin mengakibatkan kebutuhan masyarakat untuk menentukan sendiri pemimpin politiknya, melalui sebuah mekanisme Pemilu yang terbuka dan dempkratis, menjadi semakin mendesak.
Tuntutan agar Pemilu segera dilaksanakan juga muncul dari kalangan partai-partai politik. Sebenarnya tuntutan ini bisa dipahami mengingat seteru politik terbesar dari partai-partai politik saat itu, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI), telah dibubarkan. Dengan demikian, gairah partai politik untuk melaksanakan Pemilu secepatnya lebih disebabkan oleh keinginan meraup suara dari bekas pemilih PKI pada Pemilu tahun 1955.
HASIL PEMILIHAN UMUM TAHUN 1971
PARTAI
POLITIK
|
JUMLAH
SUARA
|
JUMLAH
KURSI
DPR
|
%
|
1. Golongan
Karya
2. Nahdlatul Ulama
3. Partai Muslimin Indonesia
4. Partai Nasional Indonesia
5. Partai Sarekat Islam Indonesia
6. Partai
Kristen Indonesia
7. Partai
Khatolik
8. Persatuan
tarbiyah Islam
9. Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia
10. Murba
|
34.348.673
10.213.650
2.930.740
2.793.266
1.308.237
745.359
606.740
381.309
338.403
48.126
|
227
58
24
20
10
7
3
2
0
0
|
62,8
18,67
7,365
6,94
2,39
1,34
1,11
0,7
0,62
0,09
|
Upaya penggabungan partai sebenarnya sudah mulai dipikirkan pemerintah Orde Baru semenjak tahun 1966. Ketika itu ada kesadaran di kalangan pemerintah dan masyarakat umum bahwa penataan struktur politik harus dilakukan dengan cara menyederhanakan sistem kepartaian. Tuntutan terhadap pembaruan sistem politik meningkat seiring dengan kritik yang keras terhadap peran partai-partai politik yang dianggap telah memperlihatkan perangai buruk dalam kehidupan politik masa Demokrasi Terpimpin(1959-1965).
Pada awal tahun 1970, dihadapan sembilan partai politik dan Golongan Karya (Golkar) yang menjadi peserta Pemilu 1971, Presiden Soeharto mengutarakan maksud pemerintah untuk melakukan pengelompokan atas sembilan partai politik. Pengelompokan yang dimaksud adalah: perfama, “golongan nasionalis”, kedua, “golongan spiritual”, dan ketiga, “Golongan Karya”. Usulan itu diikuti oleh sikap pro dan kontra. Yang pertama kali menyambut ialah PNI dan IPKI, kemudian diikuti oleh Parmusi dan Nahdlatul Ulama (NU). Menurut Lukman Harun (Parmusi), gagasan pengelompokan partai seperti itu menguntungkan partai politik Islam. Setidaknya, dengan pengelompokan tersebut partai Islam akan bersatu dari yang semula terpecah-pecah berdasarkan kepentingan kelompok masing-masing. Sementara menurut Subhan ZE, seorang tokoh muda radikal NU, pengelompokan partai politik akan memudahkan proses pengambilan keputusan sehingga berbagai perbedaan pendapat dalam masyarakat dapat ditekan atau diminimalisir.
Golongan yang menentang pengelompokan partai politik adalah Parkindo dan Partai Khatolik. Sebenarnya, penolakan mereka lebih dialamatkan pada dikelompokannya kedua partai ini dalam golongan spiritual (agama) dan bukan kepada ide pengelompokan itu sendiri. Mereka lebih senang jika dimasukkan ke dalam golongan nasionalis. Alasannya, golongan nasionalis lebih dapat melaksanakan program yang tidak mementingkan motif-motif ideologis. Bahkan Partai Khatolik menegaskan lebih baik membubarkan diri daripada masuk ke kelompok spiritual. Akhimya, pada tanggal 4 Maret 1970, terbentuklah “golongan nasionalis” yang terdiri dari: PNI, Murba, IPKI, Partai Khatolik, dan Parkindo. Dan pada tanggal 14 Maret 1970 terbentuk “golongan spiritual” yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Golongan nasionalis kemudian menjadi cikal bakan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sementara golongan spiritual menjadi cikal bakal Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Fusi partai politik tersebut berdampak pada soal pembagian Fraksi DPR-RI hasil Pemilu 1971. Hasil Pemilu 1971 yang menyingkirkan Murba dan IPKI sebagai partai yang tidak memiliki wakil dalam DPR menimbulkan persoalan mengenai keberadaan kedua partai itu. Selain itu, MPR hasil Pemilu 1971 memutuskan hanya akan ada tiga organisasi peserta pada Pemilu 1977. Dengan berbagai kendala tersebut, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1973 diputuskan peresmian golongan nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pembentukan PDI ditandatangani oleh wakil-wakil PDI hasil fusi, seperti: Achmad Sukarmadidjaja dan Mh. Sadri (IPKI), Ben Mang Reng Say dan FS Wignjosoemarsono (Partai Khatolik), A. Wenas dan Sabam Sirait (Parkindo), S. Mubantoko dan Djon Pakan (Murba), serta Mh. Isnaeni dan Abdul Madjid (PNI).
Secara umum fusi partai membawa dua konsekuensi buruk bagi eksistensi partai politik. Perfama, posisi partai menjadi begitu tergantung kepada kebijakan politik pemerintah) yang sebenamya tidak peduli pada kepentingan rakyat banyak. Kedua, fusi menjadikan partai politik sulit menjelaskan esensi kehadirannya di hadapan tata politik nasional yang ada. Kalaupun bisa, kehadiran itu akan selalu berhubungan dengan keberadaan partai-partai politik yang menjadi unsur fusi. Situasi itu, menurut Syamsuddin Haris, juga tidak menyenangkan bagi pemerintah Orde Baru.
Bagi PDI, fusi partai membawa sejumlah konsekuensi yang kurang iebih sama dengan apa yang disampaikan Syamsuddin Haris di atas. Konsekuensi perfama, timbulnya konflik internal yang berkepanjangan dalam tubuh partai. Sejak Kongres I hingga masa kepemimpinan Megawati Sukarnoputri konflik intern dalam tubuh partai tidak pemah berakhir. Konflik intern disebabkan oleh sebab utama, yakni persaingan antar faksi dan vested interest antar individu. Sebagian pengamat meyakini bahwa konflik antar individu yang dilandasi oleh kepentingan pribadi merupakan sebab utama yang seringkali mendasari munculnya konflik dalam tubuh PDI, dan mereka yang berkonflik umumnya berasal dari unsur PNI.
Konsekuensi kedua, hilangnya identitas PDI sebagai partai dengan latar belakangan nasionalis yang mewarisi semangat nasionalimse PNI Soekamo 1927. Latar belakang ideologis yang berbeda di antara partai yang berfusi menjadikan PDI kehilangan simbol (trade mark) ideologisnya. Ini berakibat terhadap performa PDI di depan massa pemilihnya. Tidak seperti PPP yang mengidentikkan dirinya dengan simbol “Islam”, maka PDI mengalami kekaburan simbol ideologis. Selain itu, kondisi PDI pasca fusi juga banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni disahkannya Undang-Undang tentang Partai Politik dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang secara substansial merugikan kepentingan partai politik. Kebijakan floating mass yang melarang partai politik memiliki pengurus di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan, telah membuat PDI juga PPP kehilangan basis pendukungnya di tingkat akar rumput [grass roots).
PDI Perjuangan adalah buah perjuangan demokrasi dan konflik laten yang terus beriangsung dalam tubuh PDI. Puncak konflik PDI terjadi pada Kongres PDI 20-21 Juni 1996 di Medan, dimana Megawati Sukarnoputri yang tampil sebagai simbol pemersatu dalam konflik tersebut temyata kemunculannya tidak mendapat restu dari pemerintahan Soeharto. Beberapa pimpinan PDI yang disokong pemerintah Orde Baru (kubu PDI pro-Soerjadi) terang-terangan menentang kepemimpinan Megawati. Kongres Medan (yang disokong sepenuhnya oleh pemerintah) akhimya menetapkan Budi Hardjono dari kubu PDI-Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa dan intervensi pemerintah tersebut memaksa pendukung PDI pro-Megawati Sukarnoputri menyelenggarakan Kongres V di Bali pada bulan Oktober 1998. Salah satu hasil keputusan kongres adalah perlunya memisahkan diri dari PDI pimpinan Budi Hardjono dengan mendirikan partai politik baru yang dipimpin Megawati Sukarnoputri. Melalui Akte Notaris, 1 Februari 1999, diresmikanlah pembentukan sebuah “partai baru” tetap dengan nama “Partai Demokrasi Indonesia” (PDI), akan tetapi dengan tambahan nama “Perjuangan” dibelakangnya, disingkat PDIP.
Tujuan praktis perubahan nama itu untuk membedakan dengan PDl pimpinan Soerjadi yang mendapat legitimasi dari pemerintah Orde Baru. Ini sesuai dengan tuntutan perundang-undangan poiitik baru, yang mengatur tidak boleh ada nama dan lambang partai yang sama. Bagi PDl Perjuangan, menambahkan kata “Perjuangan” setelah PDl merupakan sebuah “harga poiitik” yang harus dibayar, karena hasil Kongres Bali dengan tegas memutuskan bahwa PDl harus ikut Pemilu 1999 dan merekomendasikan Megawati Sukarnoputri sebagai kandidat Presiden pada Sidang Umum MPR-RI mendatang.
Secara historis, kontlik berkepanjangan dalam tubuh PDl muncul segera setelah Kongres I PDl berakhir pada tahun 1977. Konflik terjadi antara kubu Sanusi Hardjadinata-Usep Ranawidjaja (Ketua Umum dan salah satu Ketua DPP hasil Kongres I) kubu melawan kubu Achamd Sukarmadidjaja-Muhidin Nasution (keduanya juga merupakan unsur Ketua Dewan Pimpinan Pusat hasil Kongres I). Pertentangan kemudian melahirkan kubu-kubu pada para anggota. Kontlik berawal dari perbedaan pendapat mengenai pencalonan unsur PDl yang akan duduk dalam jabatan pimpinan MPR/DPR-RI. Ketika itu, Mh. Isnaeni terpilih menjadi Wakil Ketua MPR/DPR-RI dengan dukungan F-KP dan F-ABRI.
Namun, hal itu ditentang oleh lawan-lawan politiknya dalam tubuh PDl. Perbedaan pendapat ini kemudian melebar dengan digantinya Ketua Umum dan Sekjen PDl saat itu, Sanusi Hardjadinata dan Usep Ranawidjaja. Mereka diganti secara sepihak oleh Mh. Isnaeni (Ketua DPP PDl) dan Soenawar Soekowati (Ketua DPP PDl) dengan cara membentuk DPP PDI tandingan. Pembentukan DPP tandingan ini dilakukan atas prakarsa Achmad Sukarmadidjaja. Tentu saja penggantian dengan membentuk DPP tandingan ini ditolak oleh kubu Sanusi Hardjadinata-Usep Ranawidjaya yang dianggap inkonstitusial. Kemelut yang melibatkan sebagian besar tokoh dari unsur PNI ini kemudian memecah pengurus PDI lainnya ke dalam dua kubu. Pengurus dari unsur IPKI dan Murba mendukung DPP peralihan, sedangkan Partai Khatolik dan Parkindo menentangnya.
Namun, hal itu ditentang oleh lawan-lawan politiknya dalam tubuh PDl. Perbedaan pendapat ini kemudian melebar dengan digantinya Ketua Umum dan Sekjen PDl saat itu, Sanusi Hardjadinata dan Usep Ranawidjaja. Mereka diganti secara sepihak oleh Mh. Isnaeni (Ketua DPP PDl) dan Soenawar Soekowati (Ketua DPP PDl) dengan cara membentuk DPP PDI tandingan. Pembentukan DPP tandingan ini dilakukan atas prakarsa Achmad Sukarmadidjaja. Tentu saja penggantian dengan membentuk DPP tandingan ini ditolak oleh kubu Sanusi Hardjadinata-Usep Ranawidjaya yang dianggap inkonstitusial. Kemelut yang melibatkan sebagian besar tokoh dari unsur PNI ini kemudian memecah pengurus PDI lainnya ke dalam dua kubu. Pengurus dari unsur IPKI dan Murba mendukung DPP peralihan, sedangkan Partai Khatolik dan Parkindo menentangnya.
Setelah konflik berlarut-larut, maka pada tanggal 16 Januari 1978 tercapailah kesatuan kembali di antara pihak-pihak yang bersengketa. Namun, “rujuk politik” di antara dua kubu tersebut tidak lepas dari peran (intervensi) pemerintah, dalam hal ini Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), sebagai pihak penengah. Terdengar desas-desus yang beredar bahwa Soedjono Hoemardani, Asisten Pribadi Presiden Soeharto, berperan besar dalam upaya mendamaikan dua kelompok yang bertikai tersebut.
“Rujuk politik” tersebut kemudian melahirkan DPP baru, yakni Sanusi Hardjadinata sebagai Ketua, Umum); Mh. Isnaeni, Soenawar Soekowati, Hardjanto, Usep Ranawidjaja, dan Abdul Madjid masing-masing sebagai Ketua; Aberson M. Sihaloho sebagai Sekjen, Adi Pranoto sebagai Wakil Sekjen, dan Notosukardjo sebagai Bendahara. Sedang komposisi wakil-wakil dari unsur/taksi lain tidak mengalami perubahan. Namun, penyelesaian oleh pemerintah temyata lebih merupakan penyelesaian “politis”, bukan bentuk penyelesaian legal-organisatoris yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Ini terbukti, dimana beberapa waktu berselang Sanusi Hardjadinata kembali membebastugaskan Mh. Isnaeni dan Soenawar Soekowati melalui Keputusan Ketua Umum No. 033/IX/1978 tanggal 24 November 1978. Tidak ada alasan yang jelas dari pembebastugasan ini. Mh. Isnaeni dan Soenawar Soekowati pun, dengan mengatasanamakan wakil DPP PDI, melakukan serangan balasan dengan menncopoit Sanusi Hardjadinata dari kursi Ketua Umum. Situasai kemudian menjadi tidak menentu, sampai akhirnya, pada tanggal 16 Oktober 1980, Sanusi Hardjadinata mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PDI.
Kemelut mereda sepeninggal Sanusi. Tetapi, kontlik kemudian menghangat lagi menjelang Kongres II, Januari 1981. Ketika itu terjadi perbedaan pendapat antara Soenawar dan Isnaeni dengan mereka yang menamakan dirinya “Kelompok Empat” mengenai pelaksanaan Kongres II. Soenawar dan Isnaeni mendukung pelaksanaan Kongres, sedangkan “Kelompok Empat” yang terdiri dari Usep Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D, Walandaouw, dan Zakaria Raib, menolak Kongres II. Menurut “Kelompok Empat”, penyelenggaraan Kongres akan dilangsungkan tanpa didahului pembentukan Majelis Permusyawaratan Partai dan Dewan Pertimbangan Partai yang bertentangan dengan AD/ART PDI. Selain itu, Kongres II juga dilangsungkan yang masih menekankan taktor unsur, padahal dalam Kongres I sudah disebutkan bahwa unsur sudah dianggap tidak ada lagi. Kongers II PDI yang dibuka langsung oleh Presiden Soeharto ini kemudian menghasilkan pengurus baru DPP PDI, yakni: Soenawar Soekowati (Ketua Umum), Hardjantho Soemodisastro, A. Wenas, Achmad Sukarmadidjaja, H. Muhidin Nasution, Wignjosoemarsono, dan Isnaeni (Ketua), Sabam Sirait (Sekjen), serta M.B. Samosir (Bendahara).
Jika kita melihat konflik dalam tubuh PDI setelah Kongres I dan Kongres II, terlihat bahwa mereka yang berseteru adalah orang-orang yang berasal dari unsur PNl. Ini bisa dimengerti mengingat PNl adalah unsur terbesar ketika fusi terjadi minimal dalam hal perolehan kursi di DPR-RI. Karenanya, sulit mengatakan konflik dalam tubuh PDI, setidaknya sampai Kongres II, adalah konflik antar unsur. Menurut Riza Sihbudi, konflik intern PDI sampai periode tersebut adalah konflik antara tokoh PNl garis keras (radikal) dan mereka yang lebih moderat dan akhir konflik selalu dimenangkan oleh kelompok yang berhaluan moderat. Dalam hal konflik antara kelompok Sanusi/Usep (garis keras) versus kelompok Isnaeni/Soenawar (moderat).
Menjelang Kongres III, konflik kembali muncul. Kali ini yang berseteru adalah kubu Soenawar Soekowati melawan kubu Hardjantho Soemodisastro. Konflik berawal dari pidato Soenawar pada tahun 1985 yang menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara sekuler. Pidato ini mendapat reaksi pro dan kontra dari kalangan intern PDI dan masyarakat. Pernyataan Soenawar ini kemudian dipakai kubu Hardjantho untuk memukul kubu Soenawar. Kebetulan, ketika itu menjelang Kongres III diadakan setelah Pemilu 1987, dimana kubu Soenawar meminta Kongres III diadakan sebelum Pemilu, sementara kubu Hardjantho menghendaki Kongres III diadakan setelah Pemilu. Menurut Soenawar, sebelum Pemilu sebaiknya diadakan Munas saja, bukan Kongres. Selanjutnya konflik mereda karena pada Januari 1986 Soenawar Soekowati meninggal dunia. Kubu Hardjantho mendapat angin, dan Kongres III pada akhirnya berhasil dilaksanakan sebelum Pemilu 1987. Kongres III ini dilaksanakan di Wisma Haji Pondok Gede, Jakarta, selama dua hari, sejak tanggal 15-17 April 1986.
Berdasarkan hasil konsultasi (politik) antara Menteri Dalam Negeri (yang saat itu dijabat oleh Supardjo Rustam) dengan sejumlah tokoh PDI, Soerjadi kemudian disepakati sebagai Ketua Umum PDI baru hasil Kongres III partai tersebut. Munculnya nama Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI ketika itu cukup mengejutkan, karena Soerjadi bukanlah tokoh yang dikenal di kalangan PDI. Bahkan isu yang berkembang ketika itu menyebutkan, hanya beberapa hari menjelang kongres, Soerjadi memperoleh Kartu Anggota PDI. Meskipun demikian, dimata pemerintah nilai plus Soerjadi adalah bersih dari konflik intern PDI selama ini. Sehingga, tampilnya Soerjadi diharapkan bisa meredam kontlik dalam tubuh PDI, paling tidak selama masa kepemimpinannya.