KONSEP DIRI PADA ANAK KORBAN INCEST
Abstract
Incest is defined as all forms of sexual activity between children under 18 years of close family members or foster parents (Rappley & Speare, 1993 in Hamid, 2004). The effects of sexual abuse on children varies and there is no single pattern can be applied in all cases (Price, et al., 2001 in Nevid, 2005). How the image of a person about himself referred to the concept of self. The self-concept is formed through the experiences gained from the interaction of individuals with their environment (Agustiani, H., 2006).
This study used a qualitative approach, because with this method can be understood as the description of the subject so that the experience acquired in accordance with the understanding of the subject. The study design used in this research is a case study approach. Collecting data using in-depth interviews and observation.
The conclusions of this study is that the background of the incest committed by the father of respondent inability actors to overcome their sexual drive and desire to deliver a veiled sanction against the mother who has been away from the house. As a result experienced by the respondents, lost her virginity (the hymen tear), be child irritable, often alone wayward parents, especially his mother, there was fear of his father, and he was more often at home. The self-concept of children in the aftermath of incest among others: the subject tend to be introverted and often angry, do not want to do the job and more often dreamy, often refusing to follow his mother's instructions. In addition, the subject is difficult to express his feelings and lose their confidence in his ability to achieve what he aspired for example, a short body. The self-concept is formed inside of the respondents currently affected by the treatment of her parents to her (father did abuse and rape, while the mother of aggression verbally and nonverbally). His ability to speak is also limited.
PENDAHULUAN
Penganiayaan pada anak umumnya meliputi penganiayaan fisik, seksual, penelantaran dan penganiayaan emosional (Hamid, 2004). Setiap tahunnya, sekitar satu juta anak di Amerika Serikat diidentifikasi menjadi korban penganiayaan terhadap anak (Eckenrode, dkk., 2000; Golden, 2000 dalam Nevid, dkk, 2005). Lebih dari seribu anak di Amerika mati setiap tahunnya sebagai akibat dari penganiayaan atau penelantaran. Sama mengerikan dengan angkanya, banyak yang kurang menganggap serius masalah ini, karena hampir sebagian terbesar insiden perlakuan yang salah pada anak tidak pernah teridentfikasi secara publik.
Sementara itu, di Indonesia menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), 2006 (dalam Susana, 2009) kekerasan terhadap anak terdiri dari empat jenis, yaitu:
1. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual komersial termasuk penjualam anak untuk tujuan prostitusi dan pornografi. Kekerasan seksual dapat dikenali dalam bentuk perkosaan, pemaksaan seksual, sodomi, oral seks, onani, pelecehan seksual, dicium bahkan perbuatan incest.
2. Kekerasan fisik meliputi pemukulan dengan benda keras, menjewer, menampar, menendang, menyundut dengan api rokok, menempelkan sterika pada tubuh bahkan membenturkan kepala pada tembok, lantai, dan tempat tidur.
3. Kekerasan emosional atau kekerasan verbal. Kekerasan ini umumnya dilakukan dalam bentuk membentak, memarahi, memaki anak dengan cara berlebihan, dan merendahkan martabat anak, termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak patut didengarkan anak pada usia balita.
4. Kekerasan dalam bentuk penelantaran, yaitu dilakukan dengan cara membiarkan anak dalam situasi kurang gizi, tidak mendapat perawatan kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis, mendorong dan memaksa anak menjadi anak jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pemulung dan jenis-jenis pekerjaan lain yang dapat membahayakan tumbuh kembang anak.
1. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual komersial termasuk penjualam anak untuk tujuan prostitusi dan pornografi. Kekerasan seksual dapat dikenali dalam bentuk perkosaan, pemaksaan seksual, sodomi, oral seks, onani, pelecehan seksual, dicium bahkan perbuatan incest.
2. Kekerasan fisik meliputi pemukulan dengan benda keras, menjewer, menampar, menendang, menyundut dengan api rokok, menempelkan sterika pada tubuh bahkan membenturkan kepala pada tembok, lantai, dan tempat tidur.
3. Kekerasan emosional atau kekerasan verbal. Kekerasan ini umumnya dilakukan dalam bentuk membentak, memarahi, memaki anak dengan cara berlebihan, dan merendahkan martabat anak, termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak patut didengarkan anak pada usia balita.
4. Kekerasan dalam bentuk penelantaran, yaitu dilakukan dengan cara membiarkan anak dalam situasi kurang gizi, tidak mendapat perawatan kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis, mendorong dan memaksa anak menjadi anak jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pemulung dan jenis-jenis pekerjaan lain yang dapat membahayakan tumbuh kembang anak.
Menurut catatan Pusat Data dan Informasi Komnas PA, di sepanjang tahun 2006, kekerasan emosional menduduki peringkat yang tertinggi, yaitu mencapai angka 451 dari total kasus 1.124; kemudian disusul oleh kekerasan seksual dengan jumlah kasus 426; dan yang paling rendah adalah kekerasan fisik dengan jumlah kasus 247. Adapun pelaku kekerasan fisik berdasarkan catatan tahun 2005 antara lain: bapak kandung 12 atau 6%; bapak angkat/asuh/tiri 3 atau 1%; ibu kandung 63 atau 31%; ibu angkat/asuh/tiri 19 atau 9%; bapak guru 10 atau 5%; ibu guru 86 atau 43%; lain-lain 10 atau 5%. Pelaku kekerasan seksual antara lain: bapak kandung 10 atau 29%; bapak angkat/asuh/tiri 19 atau 54%; ibu kandung 1 atau 3%; teman 15 atau 5%. Sementara itu, pelaku kekerasan verbal yaitu: bapak kandung 12 pelaku; bapak angkat/asuh/tiri 19 pelaku; ibu kandung 47 pelaku; ibu tiri/angkat 2 pelaku; paman 6 pelaku; bapak guru 6 pelaku; ibu guru 2 pelaku; tetangga laki-laki 21 pelaku; dan tetangga perempuan 23 pelaku.
Salah satu bentuk kekerasan yang telah dipaparkan di atas adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat (Wahid & Irfan, 2001 dalam Huraerah, 2007). Sementara itu, secara umum yang dimaksud dengan incest didefinisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang mana perkawinan di antara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur. Incest biasanya terjadi dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi (Huraerah, 2007).
Incest digambarkan sebagai kejadian relasi seksual di antara individu yang berkaitan dengan darah. Akan tetapi, istilah tersebut akhirnya dipergunakan secara lebih luas yaitu menerangkan hubungan seksual ayah tiri dengan anak tiri, antar saudara tiri, padahal kedua hubungan seksual yang terakhir ini tidak terjalin pada individu yang berkaitan darah. Incest merupakan perbuatan terlarang bagi hampir setiap lingkungan budaya (Sadarjoen, 2005). Akhir-akhir ini semakin banyak kasus incest yang terungkap di masyarakat, baik itu melalui media cetak maupun elektronik. Berbagai kasus incest muncul di tengah-tengah masyarakat. Bahkan dapat dipastikan bahwa setiap hari ada saja kasus incest yang diinformasikan kepada masyarakat melalui media cetak maupun media elektronik. Itupun baru merupakan kasus-kasus incest yang terungkap, bahkan bila diteliti lebih jauh kemungkinan besar dapat dipastikan bahwa kasus-kasus yang terjadi di masyarakat lebih banyak dibandingkan kasus-kasus yang terungkap tersebut.
Kasus incest umumnya sulit diungkap dan dilanjutkan ke pengadilan, entah karena dari faktor pelaku atau keluarga pelaku yang juga keluarga korban ataupun aparat penegak hukum maupun budaya yang berlaku di masyarakatnya atau bahkan masyarakatnya sendiri, karena kasus incest termasuk aib di masyarakat sehingga masyarakatnya sendiri yang berusaha menyembunyikan dan hanya menjadikan kasus incest tersebut sebagai rahasia umum, serta dibiarkan begitu saja tanpa ada penanganan yang optimal untuk menanggulangi dan mencegahnya.
Adapun faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya incest yaitu:
1. Keadaan terjepit di dalam keluarga;
2. Kesulitan seksual pada orang tua yang tidak mampu mengatasi dorongan seksualnya;
3. Ketidakmampuan ayah untuk mencari pasangan seksual di luar rumah;
4. Ketakutan akan perpecahan keluarga;
5. Sanksi yang terselubung terhadap ibu, pengawasan dan didikan orang tua yang kurang.
Faktor kondisi sosial yang sering memungkinkan pelanggaran incest adalah rumah yang sempit dengan penghuni yang berdesakan, alcoholism, isolasi geografis, sehingga sulit mencari hubungan dengan anggota keluarga yang lain. Incest ayah dengan anak perempuan akan terjadi bila ayah terlalu lama meninggalkan keluarga dan ketika kembali menemukan istrinya sudah tua dan tidak menarik lagi, sedangkan putrinya berangkat dewasa dan menarik. Juga sering terjadi pada peristiwa perceraian dimana anak perempuan tinggal bersama ayah saja (Lustig dalam Sadarjoen, 2005).
1. Keadaan terjepit di dalam keluarga;
2. Kesulitan seksual pada orang tua yang tidak mampu mengatasi dorongan seksualnya;
3. Ketidakmampuan ayah untuk mencari pasangan seksual di luar rumah;
4. Ketakutan akan perpecahan keluarga;
5. Sanksi yang terselubung terhadap ibu, pengawasan dan didikan orang tua yang kurang.
Faktor kondisi sosial yang sering memungkinkan pelanggaran incest adalah rumah yang sempit dengan penghuni yang berdesakan, alcoholism, isolasi geografis, sehingga sulit mencari hubungan dengan anggota keluarga yang lain. Incest ayah dengan anak perempuan akan terjadi bila ayah terlalu lama meninggalkan keluarga dan ketika kembali menemukan istrinya sudah tua dan tidak menarik lagi, sedangkan putrinya berangkat dewasa dan menarik. Juga sering terjadi pada peristiwa perceraian dimana anak perempuan tinggal bersama ayah saja (Lustig dalam Sadarjoen, 2005).
Efek dari penganiayaan seksual pada anak bervariasi dan tidak ada satu pola tunggal dapat diterapkan pada semua kasus (Price, dkk., 2001 dalam Nevid, 2005). Meski beberapa anak yang dianiaya seksual tidak memperlihatkan adanya efek psikologis yang jelas, sebagian besar menunjukkan sejumlah tipe masalah psikologis, yang paling umum adalah kecemasan, depresi, perilaku agresif, self esteem yang buruk, gangguan makan, perilaku seksual premature atau persetubuhan dengan siapa saja (promiscuity), pikiran-pikiran bunuh diri, dan penyalahgunaan obat terlarang (Kisiel & Lyons, 2001; Menston & Heiman, 2000; Saywitzt, dkk., 2000 dalam Nevid, 2005). Perilaku regresif dalam bentuk mengisap jempol, atau berulangnya ketakutan masa kanak-kanak, seperti takut gelap, takut orang tak dikenal adalah umum. Masalah-masalah psikologis dapat berlanjut hingga dewasa dalam bentuk PTSD, kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, dan masalah-masalah relasional (Bradley & Follingstad, 2001; Kendler, dkk., 2000; Read, dkk., 2001 dalam Nevid, 2005).
Respons korban terhadap tindak kekerasan perlu dikaji dengan memperhatikan tahap perkembangan individu dan proses adaptasi terhadap tindak kekerasan, yang dikenal dengan sindroma trauma tindak kekerasan. Korban tindak kekerasan atau korban serangan dengan ancaman akan mengalami ketidakseimbangan internal dan eksternal sebagai akibat situasi yang mengancam kehidupan yang menimbulkan perasaan takut dan tidak berdaya yang luar biasa.
Respon korban tindak kekerasan dapat ditinjau dari respons fisik, biologik, psikologi, perilaku, dan interpersonal (Boyd & Nihart, 1998 dalam Hamid, 2004), sebagai berikut:
1. Respon fisik: cidera fisik dari yang ringan hingga berat;
2. Respon Biologik: depresi merupakan salah satu respons yang paling sering terjadi akibat penganiayaan;
3. Respon Psikologi terdiri dari harga diri rendah, rasa bersalah, malu, dan marah.
4. Respon perilaku: seringkali menjadi peminum alkohol atau menyalahgunakan zat lainnya;
5. Respon interpersonal: sulit menjalin hubungan rasa percaya dan intim yang ditandai dengan perasaan menolak dan tidak dapat menikmati hubungan intim.
Respon korban tindak kekerasan dapat ditinjau dari respons fisik, biologik, psikologi, perilaku, dan interpersonal (Boyd & Nihart, 1998 dalam Hamid, 2004), sebagai berikut:
1. Respon fisik: cidera fisik dari yang ringan hingga berat;
2. Respon Biologik: depresi merupakan salah satu respons yang paling sering terjadi akibat penganiayaan;
3. Respon Psikologi terdiri dari harga diri rendah, rasa bersalah, malu, dan marah.
4. Respon perilaku: seringkali menjadi peminum alkohol atau menyalahgunakan zat lainnya;
5. Respon interpersonal: sulit menjalin hubungan rasa percaya dan intim yang ditandai dengan perasaan menolak dan tidak dapat menikmati hubungan intim.
Seperti halnya yang dialami oleh responden yang telah diwawancarai sebelumnya mengungkapkan bahwa:
“Setelah kejadian itu kak, aku jadi malu main-main sama temen pinginnya main di rumah aja sama adik, trus waktu itu pernah aku dibawa ke rumah sakit karena pendarahan.”
Hal yang telah dikemukakan oleh responden di atas dipengaruhi oleh persepsinya terhadap diri sendiri, sedangkan persepsi itu sendiri mempengaruhi konsep dirinya. Rosenberg (dalam Partosuwido, 1992) mengemukakan konsep diri merupakan suatu totalitas dari struktur pikiran, mental dan perasaan tentang diri sendiri. Menurut kamus lengkap psikologi (Chaplin, 2006) konsep diri adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri; penilaian/penafsiran diri sendiri oleh individu bersangkutan. Rogers, 1980 (dalam Partosuwito, 1993) berpendapat konsep diri adalah pemikiran yang tersusun secara teratur dari persepsi pribadi. Persepsi diri dapat membentuk perilaku individu sehingga berdasarkan pengertian konsep diri dapat diprediksi perilaku dari individu. Konsep diri dibagi menjadi dua yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif (Rakhmat, 2005).
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam sehingga mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang faktor yang menyebabkan terjadinya incest dan dampaknya pada anak. Selain itu, untuk mengetahui bagaimana konsep diri pada anak setelah ia mengalami pelecehan seksual oleh ayah kandungnya sendiri, sehingga penelitian ini berjudul Konsep Diri pada Anak Korban Incest oleh ayah kandung.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, maka masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan dan dibatasi sebagai berikut :
1. Apakah faktor penyebab terjadinya incest ?
2. Bagaimana akibat terjadinya incest pada anak?
3. Bagaimana konsep diri anak setelah terjadinya incest tersebut?
4. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi konsep diri pada anak korban incest?
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Memahami penyebab terjadinya incest
2. Memahami dampak incest yang muncul pada anak
3. Memahami dampak psikologis terhadap konsep diri anak setelah mengalami incest
4. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri pada anak korban incest
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah kajian mengenai pelecehan seksual yang akan memperluas ilmu psikologi terutama psikologi klinis.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan nantinya hasil yang diperoleh dapat membuka wawasan masyarakat, sehingga mampu mengenali gejala-gejala akibat pelecehan seksual dan dapat melakukan penanganan sejak dini.
b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pandangan yang positif khususnya tentang konsep diri bagi para survivor/ korban pelecehan seksual untuk meningkatkan konsep diri yang lebih positif.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penulis menggunakan penelitian kualitatif karena ingin mendeskripsikan dan mengeksplorasi serta memahami lebih dalam tentang suatu peristiwa atau fenomena berdasarkan fakta-fakta yang terjadi, mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang belum diketahui, memperoleh wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui, memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus. Pendekatan studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut (Poerwandari, 2007). Yin, 1996 mengemukakan bahwa studi kasus merupakan strategi yang lebih tepat apabila:
1. Pokok pernyataan suatu penelitian berkenaan dengan “how” (bagaimana) atau “why” (mengapa); 2. Bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki;
3. Bila fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata.
Melalui pendekatan ini, penulis bisa mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan mendalam mengenai faktor penyebab, dampak psikologis, konsep diri, dan faktor yang mempengaruhi konsep diri anak yang mengalami korban incest oleh ayah kandungnya sendiri. Adapun karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian ini yaitu seorang anak perempuan yang berinisial L, berusia 12 tahun, dan mengalami pelecehan seksual oleh ayah kandungnya. Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: wawancara menggunakan pedoman umum wawancara dan observasi.
Penelitian kualitatif tidak memiliki rumusan atau aturan absolut untuk mengolah dan menganalisis data. Prosedur analisis data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:
1. Mengelompokkan data menjadi bentuk teks.
2. Mengelompokkan data dalam kategori-kategori tertentu sesuai dengan pokok permasalahan yang ingin dijawab.
3. Dilakukan interpretasi awal terhadap setiap kategori data.
4. Mengidentifikasikan tema utama atau kategori utama dari data yang terkumpul.
5. Menulis hasil akhir (Moleong, 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya incest pada responden yaitu ayahnya tidak mampu mengatasi dorongan seksual dan memberikan sanksi yang terselubung terhadap ibu. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Lustig (Sadarjoen, 2005) bahwa faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya incest yaitu keadaan terjepit di dalam keluarga, kesulitan seksual pada orang tua yang tidak mampu mengatasi dorongan seksualnya, ketidakmampuan ayah untuk mencari pasangan seksual di luar rumah, ketakutan akan perpecahan keluarga, sanksi yang terselubung terhadap ibu, dan pengawasan dan didikan orang tua yang kurang.
Adapun akibatyang dirasakan responden setelah kejadian secara fisiologis antara lain: terjadinya robekan pada selaput darah (hymen). Secara psikologis antara lain: ia menjadi anak yang mudah marah, sering menyendiri suka melawan orang tua terutama ibunya, ada ketakutan terhadap ayahnya, dan ia lebih sering berada di rumah.
Lustig (Sadarjoen, 2005) juga mengemukakan akibat yang mungkin muncul setelah terjadinya incest antara lain gangguan psikologis (misalnya tidak mampu mempercayai orang lain, takut atau khawatir dalam berhubungan seksual, depresi, ingin bunuh diri dan perilaku merusak diri sendiri, harga diri yang rendah, merasa berdosa, marah, menyendiri dan tidak mau bergaul dengan orang lain, dan makan tidak teratur.
Selain gangguan psikologis terdapat pula gangguan fisiologis, mendapatkan stigma yang buruk, dan setelah dewasa akan memiliki self esteem (rasa harga diri) rendah, depresi, memendam perasaan bersalah, sulit mempercayai orang lain, kesepian, sulit menjaga dan membangun hubungan dengan orang lain, dan tidak memiliki minat terhadap seks serta terjerumus ke dalam pengaruh obat-obatan terlarang.
Lustig (Sadarjoen, 2005) juga mengemukakan akibat yang mungkin muncul setelah terjadinya incest antara lain gangguan psikologis (misalnya tidak mampu mempercayai orang lain, takut atau khawatir dalam berhubungan seksual, depresi, ingin bunuh diri dan perilaku merusak diri sendiri, harga diri yang rendah, merasa berdosa, marah, menyendiri dan tidak mau bergaul dengan orang lain, dan makan tidak teratur.
Selain gangguan psikologis terdapat pula gangguan fisiologis, mendapatkan stigma yang buruk, dan setelah dewasa akan memiliki self esteem (rasa harga diri) rendah, depresi, memendam perasaan bersalah, sulit mempercayai orang lain, kesepian, sulit menjaga dan membangun hubungan dengan orang lain, dan tidak memiliki minat terhadap seks serta terjerumus ke dalam pengaruh obat-obatan terlarang.
Keadaan konsep diri pada responden antara lain: cenderung tertutup dan sering marah-marah, tidak mau melakukan pekerjaan dan lebih sering melamun, sering menolak untuk mengikuti perintah ibunya.
Subjek sulit untuk mengemukakan perasaannya dan tidak percaya diri terhadap kemampuannya untuk meraih apa yang ia cita-citakan misalnya tubuhnya yang pendek. Menurut William (dalam Rakhmat, 1992) mengemukakan beberapa kriteria konsep diri antara lain: konsep diri positif yaitu memiliki perasaan setara dengan orang lain, percaya akan kemampuan diri dalam memecahkan masalah, mampu menerima pujian orang lain tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang memiliki perasaan dan keinginan yang berbeda, mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup menggunakan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha untuk mengubahnya. Sementara itu, konsep diri yang negatif yaitu merasa tidak disenangi orang lain, sensitif menerima kritikan dari orang lain, merasa tidak mampu untuk bersaing dengan orang lain dalam berprestasi, responsif menerima pujian dari orang lain, selalu mencela, mengeluh atau meremehkan apapun dan siapapun; bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganan untuk bersaing dengan orang lain dalam merebut prestasi.
Subjek sulit untuk mengemukakan perasaannya dan tidak percaya diri terhadap kemampuannya untuk meraih apa yang ia cita-citakan misalnya tubuhnya yang pendek. Menurut William (dalam Rakhmat, 1992) mengemukakan beberapa kriteria konsep diri antara lain: konsep diri positif yaitu memiliki perasaan setara dengan orang lain, percaya akan kemampuan diri dalam memecahkan masalah, mampu menerima pujian orang lain tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang memiliki perasaan dan keinginan yang berbeda, mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup menggunakan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha untuk mengubahnya. Sementara itu, konsep diri yang negatif yaitu merasa tidak disenangi orang lain, sensitif menerima kritikan dari orang lain, merasa tidak mampu untuk bersaing dengan orang lain dalam berprestasi, responsif menerima pujian dari orang lain, selalu mencela, mengeluh atau meremehkan apapun dan siapapun; bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganan untuk bersaing dengan orang lain dalam merebut prestasi.
Konsep diri yang terbentuk dalam diri pada responden saat ini dipengaruhi oleh perlakuan orang tua terhadapnya (ayah melakukan tindakan kekerasan fisik dan pemerkosaan sedangkan ibu melakukan agresi secara verbal dan nonverbal). Kemampuannya dalam berbahasa juga terbatas. Konsep diri dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Citra diri yang berisi tentang kesadaran dan citra tubuh; 2. Kemampuan bahasa; 3. Umpan balik dari lingkungan, khususnya dari orang – orang terdekat (significant others); 4. Identifikasi dengan peran jenis yang sesuai dengan stereotif masyarakat, pola asuh, perlakuan, dan komunikasi orang tua (Burns, 1993).
SIMPULAN
Dari hasil penelitian, maka penulis menyimpulkan bahwa latarbelakang terjadinya incest yang dilakukan oleh bapak pada responden yaitu dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan bapak untuk mengatasi dorongan seksual dan adanya keinginan untuk memberikan sanksi yang terselubung terhadap ibu yang telah pergi dari rumah. Adapun akibat yang dialami oleh responden setelah kejadian yaitu ia kehilangan keperawanannya (terjadinya robekan hymen). Subjek menjadi anak yang mudah marah, sering menyendiri suka melawan orang tua terutama ibunya, ada ketakutan terhadap ayahnya, dan ia lebih sering berada di rumah.
Konsep diri anak setelah terjadinya incest antara lain: subjek cenderung tertutup dan sering marah-marah, tidak mau melakukan pekerjaan dan lebih sering melamun, sering menolak untuk mengikuti perintah ibunya. Selain itu, subjek sulit untuk mengemukakan perasaannya dan tidak percaya diri terhadap kemampuannya untuk meraih apa yang ia cita-citakan misalnya tubuhnya yang pendek. Konsep diri yang terbentuk dalam diri pada responden saat ini dipengaruhi oleh perlakuan orang tuanya terhadapnya (ayah melakukan tindakan pelecehan dan pemerkosaan sedangkan ibu melakukan agresi secara verbal dan nonverbal). Kemampuannya dalam berbahasa juga terbatas.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan dan diskusi hasil penelitan ini, peneliti mencoba memberikan beberapa saran. Saran-saran tersebut peneliti bedakan menjadi saran praktis dan saran bagi penelitian lanjutan yang tertarik untuk meneliti masalah yang sama.
1. Saran Praktis
a. Kepada responden, peneliti menyarankan untuk lebih bersikap terbuka kepada keluarga dan melakukan konseling sehingga keadaan psikologisnya yang sedikit terganggu atau pengalaman buruk yang menimpanya bisa dinetralkan kembali. Selain itu, disarankan untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di sekolah sehingga ia mendapatkan banyak teman yang bertujuan untuk meningkatkan rasa percaya dirinya.
b. Kepada keluarga diharapakan dapat memberikan dukungan dan perhatian yang lebih terhadap responden dalam menghadapi permasalahan yang sedang dihadapi serta membantu responden untuk mendapatkan bantuan konseling anak dalam upaya mengembalikan kepercayaan diri dan penyelesaian setiap krisis dan trauma yang telah dihadapi responden sehingga perkembangan anak tidak terganggu dan mengalami hambatan di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, H. (2006). Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada remaja. Bandung : PT. Refika Aditama
Burns, R. B. (1993). Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan& Perilaku. Jakarta: Arcan
Chaplin, J. P. (2006). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Calhoun, J.F., & Acocella, J.R. (1995). Psychology of Adjustment and Human Relationships. McGraw-hill Publishing Company
Hamid, A. Y. S. (2004). Aspek Psikososial pada Korban Tindak Kekerasan dalam Konteks Keperawatan Jiwa. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 8 No. 1.
http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/143/pdf_117
Kusdiyati, S & Fahmi, I. (2015). Observasi Psikologi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Moleong, M. A. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Edisi revisi. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya
Nevid, dkk. (2005). Psikologi Abnormal. Jakarta: Penerbit Erlangga
Partosuwido, Sri. R. (1993). Penyesuaian Diri Mahasiswa dalam Kaitannya dengan Konsep Diri. Pusat Kendali dan Status Perguruan Tinggi. Jurnal Psikologi Sosial 1, 32-4
Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Rahayu, I. T & Ardani, T. A. (2004). Observasi dan Wawancara. Malang: Bayumedia Publishing
Rakhmat, J. (1985). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Karja
Sadarjoen, S. S. (2005). Kasus Gangguan Psikoseksual. Bandung: PT. Refika Aditama
Yin, R. K. (1996). Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Oleh : Evi Syafrida Nasution